Jumat, 29 Maret 2019

...pelayanan kedukaan...menu utamakah bagi gereja?

Salah satu pelayanan gereja yang dibutuhkan warga jemaat di tengah krisis yang beragam adalah pelayanan pastoral atau lebih sederhananya dipahami dengan “percakapan pendampingan” secara serius. Persoalan atau permasalahan yang beragam tersebut bisa bersifat individu atau kelompok yang berkaitan dengan ranah sosial, ekonomi, hukum dan lain-lain seperti kedukaan yang berlarut-larut, pertikaian, tekanan jiwa, pengangguran, perceraian, pembagian warisan yang banyak terjadi dalam kehidupan warga jemaat. Situasi ini mendorong gereja untuk lebih meningkatkan pelayanan pastoralnya dalam upaya menolong warga untuk mendapatkan kesembuhan, topangan, bimbingan, dan kedamaian. Sampai saat ini, pelayanan pastoral yang dilakukan oleh banyak gereja diakui masih belum optimal, alasan klasiknya adalah jumlah tenaga pelayan, utamanya pendeta, yang terbatas waktu dengan kesibukan organisasi lainnya dan persiapan secara akademis-teoritis yang jauh dari realitas kehidupan warga jemaat. Akibatnya, banyak anggapan bahwa tenaga untuk pelayanan pastoral, hanya menguasai teori namun tidak terampil dalam melayani, dan ada juga yang berpendapat bahwa rumusan teologi pastoral kurang atau bahkan tidak lagi relevan dengan kebutuhan warga yang dilayani pada masa kini. 

Salah satu pelayanan pastoral yang saat ini perlu dicermati dan kurang mendapat perhatian adalah tentang kedukaan. Dimana kedukaan sering dianggap hanya muncul jika disebabkan karena ada kerabat terdekatnya meninggal dunia, walaupun sebenarnya kedukaan tidak terbatas kepada hal yang kaitannya dengan kematian seseorang saja. Kedukaan selalu berkaitan dengan hilangnya sesuatu atau menjauhnya seseorang yang dianggap berharga atau bernilai. Kedukaan merupakan reaksi manusiawi untuk mempertahankan diri ketika kita sedang menghadapi peristiwa kehilangan terlebih yang kita sayangi. Setiap orang pasti tidak akan terhindarkan adanya kedukaan dalam hidupnya. Kedukaan baik dalam menghadapi penyakit kritis, ditinggalkan oleh orang yang kita cintai, kehancuran bisnis, keterpurukan karena anak bermasalah, cita-cita hidup yang hancur dan berbagai kedukaan lainnya, yang jika tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan beban hidup. Dari beban hidup yang berkategori ringan sampai dengan tingkat berat yang menuju kecenderungan untuk putus asa dan mengarah kedalam tindakan fatal yaitu bunuh diri. Sehingga proses pendampingan yang tepat sangat dibutuhkan, dengan harapan akan memampukan seseorang memaknai setiap kedukaan yang dialami dan mampu menghayati kehidupannya dengan menata diri menghadapi masa depan yang lebih baik. Wujud kedukaan yang dimiliki seseorang bisa diamati melalui sikap atau tingkah laku yang terlihat ditonjolkan, yaitu mereka bersikap pasif atau pasrah. Mereka berdalih bahwa itu terjadi karena dipahami sebagai kejadian yang dikehendaki oleh Allah. Sebaliknya ada yang memunculkan sikap agresif dengan beragam tindakan diantaranya, seringnya mengeluh, memberontak, memprotes karena tidak dapat menerima kondisi sebuah peristiwa kehilangan tadi. Bahkan ada juga yang mengalami perasaan tanpa arah, bayang-bayang ketakutan yang luar biasa, merasa tertekan karena tidak mampu menanggung beban penderitaan yang seolah-olah akan dialaminya. Peran pelayan atau pendeta disinilah sangat diperlukan untuk melakukan pendampingan yang berfungsi membimbing, mendamaikan serta menopang, mengasuh, dan menjadikan keutuhan hidup terhadap warga jemaat yang berduka tersebut. 

Pelayanan kedukaan menyangkut pendampingan keseluruhan hidup dan setiap aspek kehidupan. Dalam hal ini bukan hanya lewat khotbah atau perkunjungan “patuwen” biasa saja, tetapi sentuhannya lebih kepada seluruh aspek kehidupan warga jemaat yang mengalami kedukaan. Mereka yang berduka diarahkan kepada penyembuhan dan merasakan kembali ke dalam kehidupan yang normal. Artinya dengan pelayanan kedukaan, membuat warga yang berduka bisa keluar dari kedukaannya, itu prinsip utamanya. Sangat diharapkan pelayan dalam mendampingi warganya, memiliki kepekaan terhadap apa yang menjadi kebutuhan utama warga jemaat yang mengalami situasi yang tidak mudah bisa diterimanya tersebut. Pengalaman memberikan banyak catatan contoh untuk dipahami, bahwa kedukaan adalah sikap atau reaksi seseorang terhadap berpisahnya dari seorang atau sesuatu yang berharga yang dicintainya. Hal ini mengindikasikan bahwa kedukaan bukanlah peristiwa atau kejadian abadi yang terus menerus berlangsung tanpa akhir, namun akan berakhir, namun membutuhkan waktu dan proses. 

Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti akan selalu diperhadapkan dengan perasaan duka, dari peristiwa kehilangan akan hal-hal besar maupun hal-hal yang kecil, artinya seseorang pasti akan mengalami tahap-tahap kedukaan. Kedukaan bisa mencakup apa yang kita rasakan, pikirkan, kehendaki dan kerjakan. Sehingga tidak salah jika banyak orang mengatakan bahwa kedukaan dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita. Reaksi terhadap kedukaan seseorang tidak selalu sama, ada yang bersikap pasif, agresif, depresif, sehingga pendampingan adalah menu utamanya. Sangat penting bagi orang-orang di sekitar warga jemaat yang sedang berduka untuk memiliki kepekaan dalam memberikan penghiburan dan rasa simpati. Setidaknya dengan berkumpul bersama kerabat dekat, dan dengan banyaknya ungkapan simpati melalui kontak pribadi dapat membantu seseorang melewati masa-masa kedukaannya. Setidaknya warga jemaat sudah banyak yang memahami melalui renungan baik pribadi atau dalam berjemaat yang bersumber dari Alkitab, bahwa pada dasarnya hidup ada kawasan yang merupakan ladang krisis atau kedukaan. Beberapa langkah tentang proses memberikan pertolongan kepada sesama yang mengalami kedukaan antara lain, keterlibatan segera sebagai wujud aksi nyata, membantu menciptakan harapan dalam pemecahan masalah, serta membangun rasa menghargai dan menanamkan kepercayaan diri sendiri. Dari beberapa contoh langkah di atas, maka penting sekali peranan pendeta dalam melakukan pelayanan kepada warga jemaat yang mengalami duka dan diharapkan menemukan model penggembalaan duka yang tepat. Sebagai alternatif tindakan atau langkah-langkah yang bisa dilakukan diantaranya dengan menciptkan situasi, dimana warga jemaat yang berduka dapat: 
• Menerima baik secara rasional maupun secara emosional kondisi tersebut.  
• Mencernakan perasaan-perasaan atau emosi-emosi yang berat sekalipun. 
• Belajar hidup dan membuat situasi hidupnya yang baru sebagai suatu tugas yang harus diselesaikan.

Perkunjungan dan percakapan dengan volume yang lebih dari biasanya yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu untuk membantu supaya dapat menunaikan tugasnya dalam proses kedukaannya juga perlu mendapat perhatian bagi pelayan, terutama seorang pendeta. Banyak teknik tentunya dari beragam sumber yang bisa dilakukan untuk menerapkan langkah tindakan tersebut. Seorang pelayan bisa memulai dengan meruntuhkan beban yang berupa dendam atau luka batin atau bentuk duka yang lainnya, yang dimulai dari diri sendiri, dengan maksud dan sangat dibutuhkan untuk tidak terjadi “transfer kedukaan” dalam diri pelayan sendiri kepada yang berduka. Jika tidak, maka kita diingatkan dengan ungkapan sederhana yakni “masak orang sakit menyembuhkan orang yang memiliki penyakit yang sama”. Reaksi terhadap kedukaan masing-masing warga jemaat tentu berlainan, sehingga seorang pelayan harus mengetahui apa yang dibutuhkan atau tidak dan bagaimana bentuknya. Setiap pelayan harus memperlengkapi diri dengan pengetahuan yang banyak tentang orang yang mengalami kedukaan. Dengan demikian warga jemaat yang mengalami kedukaan, mampu menghayati situasi dan keadaan yang mereka anggap bisa diselesaikan dengan baik. Setiap pelayan, terutama seorang pendeta yang sedang mendekati warga jemaat yang berduka, memastikan langkah awal dengan mengetahui situasi orang tersebut dalam hal apa yang perlu dan bisa didekati serta meneeliti apa penyebabnya. Karena setiap warga jemaat yang mengalami kedukaan, cenderung mempunyai sikap yang berbeda dalam usaha untuk menghindar dari situasi yang menyakitkan tersebut. 

Pelayanan kedukaan adalah pelayanan yang tulus, tindakan yang penting untuk menolong warga jemaat yang mengalami krisis akibat kedukaan. Seorang pelayan dipandang dapat menjadi pembimbing dan sahabat yang efektif bagi warga jemaat yang mengalami kehilangan. Tentu saja dengan memahami bahwa pendampingan kepada warga jemaat yang sedang berduka bukan hanya mempertimbangkan permasalahan yang ada pada keluarga saja, tetapi juga memperhatikan bagaimana pelayan dapat membantu untuk melepaskan perasaan duka mereka secara baik. Penting sekali sebagai seorang pelayan, terutama pendeta untuk memahami kebutuhan warga yang berduka dan membantu mengatur kebutuhan mereka dengan baik untuk menghilangkan perasaan bersalah. Bantuan yang berarti yang dapat diberikan seorang pelayan adalah berbagi rasa sebelum meninggalkan warga jemaat yang berduka dan membiarkan mereka mencoba mengatasi kedukaan mereka. Sepertinya saat seseorang sedang sangat berduka, pelayan tidak perlu memberikan banyak penjelasan, cukup pengertian dan penerimaan akan perasaan keluarga yang sedang berduka. Pelayan adalah transformator yang baik, bukan sebagai seorang “problem solver”. Sebab pelayan bukanlah pahlawan bagi yang berduka, tetapi bagaimana membuat seorang menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Seperti halnya Tuhan Yesus, Dia adalah transformator yang baik, karena memahami bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang berhikmat, dimana sebenarnya mempunyai kemampuan untuk bisa mengatasi masalahnya sendiri. Yesus hanya merangsang supaya manusia kembali menemukan jati dirinya untuk mengatasi masalah yang dihadapainya sendiri, sebab Roh Kudus pasti mendampingi kepada manusia dalam setiap perkara yang dihadapinya. 

Sebagai seorang pelayan, hendaknya menggunakan pendekatan seperti yang diajarkan Tuhan Yesus, sebuah konsep kasih yang tertulis dalam Matius 22: 39 “......Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Sebuah konsep kehidupan manusia Kristen yang adalah kasih. Sebelum mengasihi orang lain, dia harus mengasihi dirinya sendiri dan cara dia mengasihi diri sendiri itulah yang dipakai sebagai keteladanan untuk mengasihi sesamanya. Demikian juga sebagai seorang pelayan pastoral, sebelum mentransformasi seorang yang berduka, maka dia harus mampu mentranformasi diri sendiri terlebih dahulu. Sebelum membuat kelekatan yang berduka dengan Allah, seorang pelayan harus terlebih dahulu memiliki kelekatan dengan Allah terlebih dahulu. 

Akan terasa indah pada akhirnya, jikalau sebuah permasalahan besar yang dihadapai oleh warga jemaat justru bisa dikelola untuk menjadi sesuatu atau “menu” yang enak untuk dinikmati. 

 pdt yohanes didik