"sekedar ulasan yang memerlukan waktu merenungkannya"
(yohanes didik)
I.
Pendahuluan
Sebelum
mengupas banyak hal tentang kitab Wahyu dalam Perjanjian Baru sebagai kitab
apokaliptik yang dipadukan dengan Kitab Daniel dalam Perjanjian Lama yang
digolongkan juga sebagai kitab Apokaliptis, perlu untuk memahami kata
apokaliptik itu sendiri terlebih dahulu. Kata ini berasal dari bahasa Yunani
yang artinya menyingkapkan atau membukakan dan merujuk pada sesuatu yang
sebelumnya tersembunyi dan sekarang telah disingkapkan sekarang. Kitab-kitab
apokaliptik yang berasal dari periode intertestamen merupakan suatu catatan
tentang peristiwa sejarah dari tahun 250 SM sampai 100 M, sekaligus memuat
tanggapan iman bangsa Israel ketika berhadapan dengan berbagai bentuk krisis
dan tirani pada masa itu. Oleh karena itu kitab-kitab ini tidak dapat dipahami
dengan baik bila dilepaskan dari pengaruh religius, politik dan ekonomi pada
waktu itu. Demikian juga sebaliknya bahwa sejarah dalam kitab ini, tidak bisa
dipahami bila dilepaskan dari harapan dan kekhawatiran iman umat Allah yang
terus bergema di dalamnya.[1]
Kitab Daniel
dan Wahyu juga merupakan karya sastra yang kemudian dikenal dengan sastra
apokaliptik, dengan ciri utama yang penting dari sastra apokaliptik ini diantaranya
adalah penggunaan simbol-simbol. Terkadang bahasa simbolis yang digunakan mudah
dimengerti namun kadang juga sulit dipahami. Simbol-simbol yang sering dipakai
adalah binatang-binatang, manusia dan bintang-bintang, makhluk-makhluk mitologi, dan
angka-angka. Sebagai contoh hal ini dapat kita temukan dalam kitab Wahyu yang menyebut Roma sebagai
Babel atau Kitab Daniel yang memakai nama-nama binatang untuk menyebutkan nama
empat Negara. Sastra apokaliptik sangat menekankan sifat supranatural. Aspek
supranatural ini diperlihatkan melalui sosok malaikat yang mewarnai
tulisan-tulisan apokaliptik dan memiliki peran penting. Misalnya, dalam kitab
Daniel kita dapat menemukan dua tokoh malaikat yaitu Gabriel (Daniel
8:16) dan Mikhael (Daniel
12:1). Sedangkan bila kita membaca sastra apokaliptik di kitab Wahyu, kita
dapat menemukan pembedaan yang tegas antara dunia yang sekarang dengan dunia yang
akan datang. Kitab ini berbicara tentang akhir dunia yang semakin
memburuk, lalu tiba-tiba muncul dunia baru yang serba indah.
Dalam
pandangan apokaliptik, bumi dilihat secara menyeluruh dan tidak hanya terbatas
pada umat Israel.
Tulisan apokaliptik juga tidak hanya melampaui batas sejarah sampai
kedalam situasi sesudah sejarah berakhir, tetapi juga situasi
sebelum dunia
diciptakan. Pola pikir dualistis seperti membedakan antara zaman sekarang dan
akan datang, antara bumi dan sorga, antara orang suci dan orang jahat sangat menonjol dalam
sastra apokaliptik. Sastra apokaliptik dengan demikian mendorong orang-orang
agar dapat bertahan dalam penindasan. Sasaran akhir karya sastra ini adalah
berakhirnya segala kejahatan, kekuasaan yang dimiliki negara-negara besar di
dunia tidak akan bertahan lama, dan pada akhirnya zaman keselamatan itu tiba.[2]
Dalam buku “Etika Perjanjian Baru“ berpendapat bahwa nada dasar yang mewarnai
seluruh kitab Wahyu adalah pengharapan eskatologis. Allah sendiri yang
digambarkan sebagai sumber penyataan menyangkut “apa yang harus segera
terjadi”. Ungkapan ini menyatakan sifat determinisme
yang merupakan salah satu ciri khas apokaliptik, yakni Allah telah menentukan
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dan karena itu rencana Allah haruslah
berlangsung. Kuasa apapun mustahil menghindarkan penggenapan rencana Allah itu.[3]
II.
Penelusuran Apokaliptis Wahyu 21
Secara garis
besar kitab Wahyu diperkirakan ditulis pada tahun sembilan puluhan, abad
pertama, yaitu ketika orang Kristen menderita dibawah pemerintahan Kaisar
Domitianus. Dimana penulis kitab Wahyu menganggap penganiayaan terhadap orang
Kristen sebagai ciri khas pada zaman itu, perlu dibekali menjelang perjuangan
melawan mereka yang antikris.[4]
Kitab Wahyu merupakan kitab yang ditempatkan paling terakhir dalam urutan
kitab-kitab Perjanjian Baru. Kata “Wahyu” dalam nama kitab ini merupakan
terjemahan dari kata Bahasa Yunani Apokalypsis yang berarti
menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi. Kata ini sebenarnya menunjuk pada
jenis sastra yang terdapat dalam kitab ini. Pada umumnya, sastra apokaliptik
dalam konteks Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sebenarnya dimaksudkan
untuk menyatakan rahasia-rahasia yang berhubungan dengan akhir zaman atau makna
sejarah. Kitab ini berisi simbol-simbol dan lambang-lambang yang pada
zaman sekarang menimbulkan pelbagai tafsiran yang tidak hanya beragam tetapi
juga seringkali kontroversial.
Mengawali
penelusuran apokaliptik kitab Wahyu 21, perlu dipahami bahwa perikop ini ditulis dalam struktur syair yang
melukiskan keadaan kota
Yerusalem baru. Dipahami sebagai kota pengharapan, kota kemuliaan
Allah dan perwujudannya dilambangkan sama seperti permata yang paling indah,
kota dari emas tulen, tembok terbuat dari beragam permata. Karena ditulis dalam
struktur syair, maka pemakaian kata atau istilah memiliki makna yang beragam.
Diantaranya dipahami sebagai kota suci yang dikuduskan melalui darah Kristus.
Kota Yerusalem baru menunjukkan
pusat penyembahan orang-orang kudus, menjadi tanda penyertaan Allah dengan
umat-Nya. Perlambang itu diterjemahkan misalnya, mempelai wanita dan istri bagi
Anak Domba, adalah untuk menyatakan orang-orang kudus ditebus melalui darah
Kristus, serta menjadi satu dengan Dia. Kemah yang ada ditengah-tengah manusia
ialah penyertaan Allah dengan manusia, dalam bahasa Ibrani yaitu: "Imanuel" (Yesaya
7:14; Matius 1:23). Yang juga merupakan perwujudan nama inkarnasi
Kristus. Sedangkan umat Allah menunjukkan orang-orang kudus yang
adalah milik Allah, yang dikuasai Allah, dan menjadi umat Kerajaan Allah.
Semuanya disusun
dalam struktur syair yang paralel, artinya dapat saling dibandingkan, sehingga
kita bisa memahaminya melampaui makna yang sebenarnya. Sebagai contoh
perbadingan misalnya, pencipta bersatu dengan ciptaan, sumber kehidupan kekal
bersatu dengan hidup yang sementara, persatuan antara awal dan akhir yang kekal
dengan awal dan akhir yang bersifat sementara, serta memasuki kekekalan yang
tanpa awal dan akhir. Secara sederhana struktur syair perbadingan itu memiliki
makna bahwa kehidupan ini membutuhkan dukungan sumber hidup, sehingga manusia
sanggup berkembang dengan baik, melaksanakan amanat yang dibebankan padanya.
Namun manusia telah menyimpang dari jalan Allah sehingga dipisahkan dari Allah,
kini melalui penebusan Kristus, manusia yang terpisah secara temporal, sekali
lagi dipersatukan dengan Allah, inilah "eksistensi kekal" dalam
langit dan bumi baru.[5]
Penulusuran
makna lebih lanjut bisa dikembangkan pemahaman kita akan kota Yerusalem
baru yang disebut sebagai mempelai wanita yang turun dari Allah,
kemah Allah ada di tengah-tengah manusia. Semua telah menjadi baru dan sangat
nyata. Dalam kota suci tersebut terdapat takhta, ada air dari sumber hidup, ada
pemenang, ada pula Anak Allah yang sifatnya rohani, semuanya bersifat non-materi. Artinya
dalam langit dan bumi yang tidak ada perwujudan langit, bumi, laut
yang sebenarnya, demikian juga tidak ada air mata, kematian, dosa,
kesengsaraan, berhala dan sebagainya yang bersifat materi. Dibandingkan dengan
sebuah fakta di dunia ini, dimana manusia diperhadapkan dengan air mata,
kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kegelapan dan sebagainya. Semuanya ini
akan berlalu, sebab akan dicampakkan ke dalam lautan api.
Jikalau kita
memahami perikop ini dari sudut struktur syair, memang jika dijelaskan secara
harafiah, mungkin saja ada orang menjadi senang dengan tafsiran ini, ada juga
menjadi kurang bahkan tidak memahaminya. Pada saat memaparkan yang dimaksud
dengan Kota suci itu adalah mempelai wanita, isteri dari Sang Anak Domba
misalnya, ini adalah istilah kiasan yang menunjukkan kesatuan, sama
sekali bukan rnenunjukkan hubungan suami isteri antar manusia. Dengan kilauan
cahaya permata untuk menyatakan kemuliaan Allah dan keadaan terang benderang
kota tersebut, jelas menunjukkan kebersihan serta nilai yang berharga dari kota
itu. Kota ini juga dijelaskan dalam bahasa kiasan sebagai kota yang
berbentuk empat persegi, dimana panjangnya sama dengan lebarnya. Kota itu
diukur dengan tongkat dua belas ribu mil, dimana panjangnya dan lebarnya serta
tingginya sama. Diskripsi ini memberi pengertian suatu ketulusan yang sempurna.
Inilah kata sifat yang dipakai dalam istilah syair yang menunjukkan sifat kesempurnaan dalam bahasa rohani. Dua
belas jenis permata sebagai fondasi kota itu, serta dua belas pintu
mutiara semuanya juga adalah istilah kiasan, yang menyatakan kemuliaan,
kebersihan serta betapa berharganya kota tersebut. Perlu untuk dipahami
kemudian bahwa konsep kota suci tersebut adalah
non-materi, non-konsep ruang, namun sang penulis kitab ini menganggap mutlak
benar. Dengan demikian perikop ini juga ingin menyampaikan bahwa ciptaan
Allah mencakup materi yang dapat dilihat oleh mata, serta keberadaan rohani
yang tidak dapat terlihat oleh mata. Artinya seperti yang tertuang dalam
awal perikop ini bahwa ciptaan dalam
dunia materi itu akan berlalu menjelang datangnya langit dan bumi baru (Wahyu
21:1).
Sebuah analogi
sederhana menunjukkan bahwa dalam kitab Kejadian Pasal 1 menunjukkan Allah
memakai enam hari dalam menciptakan dunia dan umat manusia yang bersifat materi.
Namun langit baru dan bumi baru ini bukanlah renovasi dari langit dan bumi yang
lama, sebab langit dan bumi yang lama itu telah berlalu. Langit dan bumi baru
ini turun dari Allah, dinyatakan dari Allah sendiri. Ditinjau dari sudut alur sejarah
yang tertuang dalam kitab Injil, saat Yesus memulai memberitakan Injil, ada
orang yang percaya kepadaNya, maka sejak itu jemaat pun didirikan. Jika pada
saat itu berdirilah sebuah Jemaat, itu juga berarti berdirinya mempelai wanita
Kristus, yang juga perwujudan langit dan
bumi baru, yaitu berdirinya Yerusalem
baru juga. Maka sebelum langit dan bumi lama itu berlalu,
langit dan bumi baru itu telah ada. Sebab barang siapa yang di dalam Kristus,
ialah ciptaan yang baru, yang lama telah berlalu, sesungguhnya yang baru datang
(2 Korintus 5:17). Maka mempelai wanita pada langit dan bumi baru itu, bukan
renovasi langit dan bumi lama, ia bukan ada setelah langit dan bumi yang lama
itu berlalu, melainkan saat Kristus menggenapi karya penebusanNya. Inilah titik
awal langit dan bumi yang baru, kota Yerusalem baru yang dimaksudkan oleh
penulis kitab Wahyu.
Penulis kitab ini sepertinya memiliki keinginan juga untuk menarik sejarah latar belakang kehidupan masyarakat pada saat itu dengan memakai kiasan kota suci Yerusalem baru, untuk menyatakan bagaimana umat Israel yang menjadikan kota Yerusalem sebagai pusat ibadah mereka. Temboknya dibuat dari batu yaspis, kota dibuat dari emas tulen, seperti kristal yang bersih dan terang dan bila dijelaskan secara simbolik akan menjadi sangat mudah. Tembok dalam kota sebenarnya adalah satu kesatuan dalam kemuliaan, bahkan kehormatan yang tiada bandingannya. Dasar kota ini adalah terdiri dari 12 batu permata. Jikalau ditinjau dari makna simbolik Kitab Wahyu, maka permata-permata ini tidak lain melambangkan dasar kota yang murni, kudus dan satu kesatuan yang sempurna serta mulia. Dalam kota suci tidak ada Bait, sebab Allah adalah Bait kota itu sendiri. Bait Tuhan Yesus mutlak bersifat rohani, yang non-materi. Kota ini tidak membutuhkan cahaya matahari dan bulan yang materi, tetapi cahaya yang non materi yaitu kemuliaan Allah dan Anak Domba sendiri sebagai terang kota itu.
Jika kemudian
ditarik dalam sebuah konslusi, maka pemaknaan sederhana dari istilah penyebutan
Yerusalem Baru merupakan salah satu nama kota yang disebutkan dalam Kitab Wahyu
yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kota-kota lain. Dimana
Yerusalem disebut sebagai kota yang kudus, turun dari surga, dari Allah yang
berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka kata “Yerusalem baru” berada dalam bingkai perikop
yang berisi tentang “Langit dan bumi yang baru” (21:1-8). Penyebutan “kota yang
kudus” sebenarnya menunjuk pada Kota yang berasal dari Allah karena kekudusan
dalam Perjanjian Lama maupun baru selalu dihubungkan dengan Allah. Kekudusan
dalam arti ini juga dapat dihubungkan dengan kesempurnaan. Hal ini dapat
dilihat dari kelanjutan dari perikop ini: Lalu, aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru. Kota yang
kudus (21;2); dalam Kitab Wahyu kota suci atau kudus adalah kota
yang ideal. Di situ orang-orang yang percaya kepada Allah tinggal. Dalam
sejarah keselamatan, keadaan tempat seperti itu berubah-ubah. Namun, pada
akhirnya kota itu tidak hanya akan dibebaskan dari ancaman dan hambatan, tetapi
akan diperbaharui secara menyeluruh dan mulia. Jadi penulis kitab ini ingin
mengungkapkan bahwa Yerusalem baru merupakan perikop yang berisi tentang ”dunia
baru” yang menjadi puncak dan pemenuhan seluruh pengharapan manusia beriman.
Yerusalem baru adalah tujuan hidup umat yang percaya kepada Allah.[6]
Pada akhirnya kitab Wahyu memuat banyak
simbol-simbol yang berupa angka, peristiwa, warna, dan sebagainya yang
membingungkan itu,. tentu saja mewakili sebuah gagasan atau makna. Para ahli
menyimpulkan bahwa orang Ibrani dan kebiasaannya cenderung berfikir secara
kongkrit bukan abstrak. Ternyata berdasarkan konteks historis teks, paling
tidak, ada dua alasan penggunaan bahasa simbol ini yakni, demi kejelasan pesan
dan demi keamanan penyebaran pesan yang disampaikan melalui simbol-simbol
tersebut. Tampaknya kedua alasan di atas menjadi alasan penggunaan
simbol-simbol dalam kitab Wahyu ini.
Penggunaan simbol-simbol tampaknya
bertujuan untuk mendukung kejelasan pesan yang akan disampaikan. Hal ini
barangkali terkait dengan kecenderungan orang Ibrani untuk berfikir secara
kongkrit. Namun ada juga yang menafsirkan bahwa simbol tersebut merupakan
sebuah upaya penulis untuk menstimulasi pembacanya. Sementara itu simbol-simbol
yang dipakai tampaknya adalah demi keamanan penyebaran pesan itu. Sebagaimana
yang kita ketahui, pada saat penglihatan ini terjadi, Gereja Tuhan sedang
mengalami penganiayaan yang sangat besar dibawah pemerintahan Romawi.
III.
Hubungan Apokaliptis Kitab Wahyu Dengan Kitab Daniel
Kitab Wahyu
menggambarkan suatu pengalaman rohani Rasul Yohanes yang dianggap sebagai
penulis. Ada banyak lambang atau simbol, dan semuanya itu dipakai untuk menggambarkan
pengalaman rohani penulis kitab ini dalam bahasa manusia. Maka penulis kitab
ini mendeskripsikan materi-materi, misalnya: batu-batu, tembok-tembok,
pintu-pintu, model bentuk, ukuran-ukuran dan sebagainya. Semuanya adalah
simbol-simbol, bukan pengertian secara harafiah, dan tidak boleh dipahami
dengan konsep pola pikir manusia yang nyata. Jadi apa yang ada di kitab Wahyu
yang diterima Yohanes ini tentu tidak bisa diungkapkan dalam bahasa manusia,
itulah sebabnya dalam Kitab Wahyu ini memakai simbol-simbol sebagai perlambang dengan
bahasa lisan dari tulisan manusia yang sangat terbatas, yang tidak sanggup dengan tuntas untuk melukiskan
keadaan sebenarnya dari hal yang non-materi.
Kitab Daniel merupakan
sastra apokaliptik yang paling tua, ditulis sekitar tahun 167-164 SM, dengan
menggunakan bahasa Ibrani dan sebagaian lagi dalam bahasa Aram. Dalam
kitab Daniel
ditemukan dua pola yang berbeda antara pasal 1-6 dengan pasal 7-12. Daniel 1-6 banyak
menceritakan kehidupan Daniel dan teman-temannya di dalam istana pada masa
pemerintahan raja-raja Babel dan Persia abad ke-6 SM sedangkan Daniel 7-12 berisi
berbagai penglihatan. Kitab Daniel berisi tentang beberapa penglihatan masa
depan. Bagian apokaliptik dari Daniel terdiri
dari tiga penglihatan dan sebuah komunikasi kenabian yang panjang, yang
terutama berkaitan dengan masa depan Israel. Kitab ini
menunjukkan pengharapan optimal bahwa masa pembuangan itu bukanlah untuk
selama-lamanya. Karena bangsa yang menaklukkan Israel sendiri akan lenyap dari
kancah sejarah, dan hendak diganti oleh bangsa lain. Tetapi waktu
kerajaan-kerajaan itu sedang berjalan, Allah akan mendirikan suatu kerajaan yang
lain, yang berbeda dari kerajaan-kerajaan manusia, yang akan meliputi seluruh
alam dan akan kekal. Maka tujuan kitab Daniel ialah untuk mengajarkan kebenaran,
bahwa walaupun umat Allah dalam perbudakan dari suatu bangsa lain, Allah
sendirilah yang berdaulat dan menentukan nasib suatu bangsa.
IV.
Kesimpulan
Pada dasarnya kitab Daniel dan kitab
Wahyu merupakan sebuah kitab yang mengutarakan pemikiran yang diperlihatkan
dengan adanya berbagai macam bentuk penglihatan. Penglihatan yang disampaikan
terutama menyangkut pada zaman akhir. Relasi teologisnya adalah bahwa pada
zaman akhir ini, kuasa-kuasa jahat akan menindas umat yang setia pada Allah,
tetapi pada akhirnya kejahatan itu akan dihancurkan dan umat yang beriman akan
diselamatkan.
Teologi kedua kitab melihat yang akan terjadi
kemudian, penglihatan bukan diakhiri dengan hukuman dan kebinasaan yang
dijatuhkan terhadap kerajaan atau penguasa-penguasa dunia itu, melainkan
kedatangan seorang anak manusia yang diberi mahkota kehormatan, kekuasaan dan
kemuliaan yang kekal untuk menguasai kerajaan yang tidak akan pernah berakhir,
kekal selama-lamanya, dimana semua bangsa dan manusia akan mengabdi kepadaNya yaitu
Allah itu sendiri dalam rupa manusia.
Penglihatan yang tertuang dalam kedua kitab adalah
pandangan keabadian Allah yang adalah Sang Alfa dan Omega, yang awal dan akhir.
Dia yang menciptakan dan Dia juga yang bisa mengakhiri ciptaanNya sesuai kehendakNya
saja, sebab Allah yang berkuasa. Dunia akan berakhir, pengetahuan juga akan
berakhir tapi satu hal yang tidak akan berakhir yaitu Sang Alpha dan Omega. Kedua
kitab ini membuktikan bagaimana kuasa Allah akan dunia ini, yang tak seorangpun
bisa sembunyi dihadapanNya.
GKJW sangat berpotensi sebagai “Yerusalem Baru”,
sebuah “Gereja Kudus” kepunyaan Allah. Semua perlambang yang disajikan dalam
bingkai program dengan terapan kegiatan yang sudah dan tengah serta akan dijalaninya,
akan menjadi kenyataan dengan terwujudnya “Gereja Baru” yang tidak hanya untuk
menopang primordial pribadi. Tetapi adalah Gereja Baru yang hadir tidak hanya
sebagai perlambang kasih Kristus, tetapi yang senantiasa menyampaikan kasih
yang berasal dari “Yerusalem Baru” milik Allah.
Daftar Pustaka :
[3]
Pdt.Drs.Henk ten Napel,Jalan Yang Lebih
Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru,BPK Gunung Mulia 2006, hal 226
[4] Pdt.Drs.Henk ten
Napel,Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika
Perjanjian Baru,BPK Gunung Mulia 2006, hal 225