Senin, 27 Mei 2019

Tinjauan Apokaliptis Kitab Wahyu Dan Kitab Daniel


"sekedar ulasan yang memerlukan waktu merenungkannya"
(yohanes didik)

I.                   Pendahuluan

Sebelum mengupas banyak hal tentang kitab Wahyu dalam Perjanjian Baru sebagai kitab apokaliptik yang dipadukan dengan Kitab Daniel dalam Perjanjian Lama yang digolongkan juga sebagai kitab Apokaliptis, perlu untuk memahami kata apokaliptik itu sendiri terlebih dahulu. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yang artinya menyingkapkan atau membukakan dan merujuk pada sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan sekarang telah disingkapkan sekarang. Kitab-kitab apokaliptik yang berasal dari periode intertestamen merupakan suatu catatan tentang peristiwa sejarah dari tahun 250 SM sampai 100 M, sekaligus memuat tanggapan iman bangsa Israel ketika berhadapan dengan berbagai bentuk krisis dan tirani pada masa itu. Oleh karena itu kitab-kitab ini tidak dapat dipahami dengan baik bila dilepaskan dari pengaruh religius, politik dan ekonomi pada waktu itu. Demikian juga sebaliknya bahwa sejarah dalam kitab ini, tidak bisa dipahami bila dilepaskan dari harapan dan kekhawatiran iman umat Allah yang terus bergema di dalamnya.[1]

Kitab Daniel dan Wahyu juga merupakan karya sastra yang kemudian dikenal dengan sastra apokaliptik, dengan ciri utama yang penting dari sastra apokaliptik ini diantaranya adalah penggunaan simbol-simbol. Terkadang bahasa simbolis yang digunakan mudah dimengerti namun kadang juga sulit dipahami. Simbol-simbol yang sering dipakai adalah binatang-binatang, manusia dan bintang-bintang, makhluk-makhluk mitologi, dan angka-angka. Sebagai contoh hal ini dapat kita temukan dalam kitab Wahyu  yang menyebut Roma sebagai Babel atau Kitab Daniel yang memakai nama-nama binatang untuk menyebutkan nama empat Negara. Sastra apokaliptik sangat menekankan sifat supranatural. Aspek supranatural ini diperlihatkan melalui sosok malaikat yang mewarnai tulisan-tulisan apokaliptik dan memiliki peran penting. Misalnya, dalam kitab Daniel kita dapat menemukan dua tokoh malaikat yaitu Gabriel (Daniel 8:16) dan Mikhael (Daniel 12:1). Sedangkan bila kita membaca sastra apokaliptik di kitab Wahyu, kita dapat menemukan pembedaan yang tegas antara dunia yang sekarang dengan dunia yang akan datang. Kitab ini berbicara tentang  akhir dunia yang semakin memburuk, lalu tiba-tiba muncul dunia baru yang serba indah.

Dalam pandangan apokaliptik, bumi dilihat secara menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada umat Israel. Tulisan apokaliptik juga tidak hanya melampaui batas sejarah sampai kedalam  situasi sesudah sejarah berakhir, tetapi juga situasi sebelum dunia diciptakan. Pola pikir dualistis seperti membedakan antara zaman sekarang dan akan datang, antara bumi dan sorga, antara orang suci dan orang jahat sangat menonjol dalam sastra apokaliptik. Sastra apokaliptik dengan demikian mendorong orang-orang agar dapat bertahan dalam penindasan. Sasaran akhir karya sastra ini adalah berakhirnya segala kejahatan, kekuasaan yang dimiliki negara-negara besar di dunia tidak akan bertahan lama, dan pada akhirnya zaman keselamatan itu tiba.[2] Dalam buku “Etika Perjanjian Baru“ berpendapat bahwa nada dasar yang mewarnai seluruh kitab Wahyu adalah pengharapan eskatologis. Allah sendiri yang digambarkan sebagai sumber penyataan menyangkut “apa yang harus segera terjadi”. Ungkapan ini menyatakan sifat determinisme yang merupakan salah satu ciri khas apokaliptik, yakni Allah telah menentukan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dan karena itu rencana Allah haruslah berlangsung. Kuasa apapun mustahil menghindarkan penggenapan rencana Allah itu.[3]

II.                Penelusuran Apokaliptis Wahyu 21

Secara garis besar kitab Wahyu diperkirakan ditulis pada tahun sembilan puluhan, abad pertama, yaitu ketika orang Kristen menderita dibawah pemerintahan Kaisar Domitianus. Dimana penulis kitab Wahyu menganggap penganiayaan terhadap orang Kristen sebagai ciri khas pada zaman itu, perlu dibekali menjelang perjuangan melawan mereka yang antikris.[4] Kitab Wahyu merupakan kitab yang ditempatkan paling terakhir dalam urutan kitab-kitab Perjanjian Baru. Kata “Wahyu” dalam nama kitab ini merupakan terjemahan dari kata Bahasa Yunani Apokalypsis yang berarti menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi. Kata ini sebenarnya menunjuk pada jenis sastra yang terdapat dalam kitab ini. Pada umumnya, sastra apokaliptik dalam konteks Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sebenarnya dimaksudkan untuk menyatakan rahasia-rahasia yang berhubungan dengan akhir zaman atau makna sejarah. Kitab ini berisi simbol-simbol dan lambang-lambang yang pada zaman sekarang menimbulkan pelbagai tafsiran yang tidak hanya beragam tetapi juga seringkali kontroversial.

Mengawali penelusuran apokaliptik kitab Wahyu 21, perlu dipahami bahwa  perikop ini ditulis dalam struktur syair yang melukiskan keadaan kota Yerusalem baru. Dipahami sebagai kota pengharapan, kota kemuliaan Allah dan perwujudannya dilambangkan sama seperti permata yang paling indah, kota dari emas tulen, tembok terbuat dari beragam permata. Karena ditulis dalam struktur syair, maka pemakaian kata atau istilah memiliki makna yang beragam. Diantaranya dipahami sebagai kota suci yang dikuduskan melalui darah Kristus. Kota Yerusalem baru menunjukkan pusat penyembahan orang-orang kudus, menjadi tanda penyertaan Allah dengan umat-Nya. Perlambang itu diterjemahkan misalnya, mempelai wanita dan istri bagi Anak Domba, adalah untuk menyatakan orang-orang kudus ditebus melalui darah Kristus, serta menjadi satu dengan Dia. Kemah yang ada ditengah-tengah manusia ialah penyertaan Allah dengan manusia, dalam bahasa Ibrani yaitu: "Imanuel" (Yesaya 7:14; Matius 1:23). Yang juga merupakan perwujudan nama inkarnasi Kristus. Sedangkan umat Allah menunjukkan orang-orang kudus yang adalah milik Allah, yang dikuasai Allah, dan menjadi umat Kerajaan Allah.

Semuanya disusun dalam struktur syair yang paralel, artinya dapat saling dibandingkan, sehingga kita bisa memahaminya melampaui makna yang sebenarnya. Sebagai contoh perbadingan misalnya, pencipta bersatu dengan ciptaan, sumber kehidupan kekal bersatu dengan hidup yang sementara, persatuan antara awal dan akhir yang kekal dengan awal dan akhir yang bersifat sementara, serta memasuki kekekalan yang tanpa awal dan akhir. Secara sederhana struktur syair perbadingan itu memiliki makna bahwa kehidupan ini membutuhkan dukungan sumber hidup, sehingga manusia sanggup berkembang dengan baik, melaksanakan amanat yang dibebankan padanya. Namun manusia telah menyimpang dari jalan Allah sehingga dipisahkan dari Allah, kini melalui penebusan Kristus, manusia yang terpisah secara temporal, sekali lagi dipersatukan dengan Allah, inilah "eksistensi kekal" dalam langit dan bumi baru.[5]

Penulusuran makna lebih lanjut bisa dikembangkan pemahaman kita akan kota Yerusalem baru yang disebut sebagai mempelai wanita yang turun dari Allah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia. Semua telah menjadi baru dan sangat nyata. Dalam kota suci tersebut terdapat takhta, ada air dari sumber hidup, ada pemenang, ada pula Anak Allah yang sifatnya rohani, semuanya bersifat non-materi. Artinya dalam langit dan bumi yang tidak ada perwujudan langit, bumi, laut yang sebenarnya, demikian juga tidak ada air mata, kematian, dosa, kesengsaraan, berhala dan sebagainya yang bersifat materi. Dibandingkan dengan sebuah fakta di dunia ini, dimana manusia diperhadapkan dengan air mata, kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kegelapan dan sebagainya. Semuanya ini akan berlalu, sebab akan dicampakkan ke dalam lautan api.

Jikalau kita memahami perikop ini dari sudut struktur syair, memang jika dijelaskan secara harafiah, mungkin saja ada orang menjadi senang dengan tafsiran ini, ada juga menjadi kurang bahkan tidak memahaminya. Pada saat memaparkan yang dimaksud dengan Kota suci itu adalah mempelai wanita, isteri dari Sang Anak Domba misalnya, ini adalah istilah kiasan yang menunjukkan kesatuan, sama sekali bukan rnenunjukkan hubungan suami isteri antar manusia. Dengan kilauan cahaya permata untuk menyatakan kemuliaan Allah dan keadaan terang benderang kota tersebut, jelas menunjukkan kebersihan serta nilai yang berharga dari kota itu. Kota ini juga dijelaskan dalam bahasa kiasan sebagai kota yang berbentuk empat persegi, dimana panjangnya sama dengan lebarnya. Kota itu diukur dengan tongkat dua belas ribu mil, dimana panjangnya dan lebarnya serta tingginya sama. Diskripsi ini memberi pengertian suatu ketulusan yang sempurna. Inilah kata sifat yang dipakai dalam istilah syair yang menunjukkan sifat kesempurnaan dalam bahasa rohani. Dua belas jenis permata sebagai fondasi kota itu, serta dua belas pintu mutiara semuanya juga adalah istilah kiasan, yang menyatakan kemuliaan, kebersihan serta betapa berharganya kota tersebut. Perlu untuk dipahami kemudian bahwa konsep kota suci tersebut adalah non-materi, non-konsep ruang, namun sang penulis kitab ini menganggap mutlak benar. Dengan demikian perikop ini juga ingin menyampaikan bahwa ciptaan Allah mencakup materi yang dapat dilihat oleh mata, serta keberadaan rohani yang tidak dapat terlihat oleh mata. Artinya seperti yang tertuang dalam awal perikop ini bahwa ciptaan dalam dunia materi itu akan berlalu menjelang datangnya langit dan bumi baru (Wahyu 21:1).

Sebuah analogi sederhana menunjukkan bahwa dalam kitab Kejadian Pasal 1 menunjukkan Allah memakai enam hari dalam menciptakan dunia dan umat manusia yang bersifat materi. Namun langit baru dan bumi baru ini bukanlah renovasi dari langit dan bumi yang lama, sebab langit dan bumi yang lama itu telah berlalu. Langit dan bumi baru ini turun dari Allah, dinyatakan dari Allah sendiri. Ditinjau dari sudut alur sejarah yang tertuang dalam kitab Injil, saat Yesus memulai memberitakan Injil, ada orang yang percaya kepadaNya, maka sejak itu jemaat pun didirikan. Jika pada saat itu berdirilah sebuah Jemaat, itu juga berarti berdirinya mempelai wanita Kristus, yang juga perwujudan langit dan bumi baru, yaitu berdirinya Yerusalem baru juga. Maka sebelum langit dan bumi lama itu berlalu, langit dan bumi baru itu telah ada. Sebab barang siapa yang di dalam Kristus, ialah ciptaan yang baru, yang lama telah berlalu, sesungguhnya yang baru datang (2 Korintus 5:17). Maka mempelai wanita pada langit dan bumi baru itu, bukan renovasi langit dan bumi lama, ia bukan ada setelah langit dan bumi yang lama itu berlalu, melainkan saat Kristus menggenapi karya penebusanNya. Inilah titik awal langit dan bumi yang baru, kota Yerusalem baru yang dimaksudkan oleh penulis kitab Wahyu.

Penulis kitab ini sepertinya memiliki keinginan juga untuk menarik sejarah latar belakang kehidupan masyarakat pada saat itu dengan memakai kiasan kota suci Yerusalem baru, untuk menyatakan bagaimana umat Israel yang menjadikan kota Yerusalem sebagai pusat ibadah mereka. Temboknya dibuat dari batu yaspis, kota dibuat dari emas tulen, seperti kristal yang bersih dan terang dan bila dijelaskan secara simbolik akan menjadi sangat mudah. Tembok dalam kota sebenarnya adalah satu kesatuan dalam kemuliaan, bahkan kehormatan yang tiada bandingannya. Dasar kota ini adalah terdiri dari 12 batu permata. Jikalau ditinjau dari makna simbolik Kitab Wahyu, maka permata-permata ini tidak lain melambangkan dasar kota yang murni, kudus dan satu kesatuan yang sempurna serta mulia. Dalam kota suci tidak ada Bait, sebab Allah adalah Bait kota itu sendiri. Bait Tuhan Yesus mutlak bersifat rohani, yang non-materi. Kota ini tidak membutuhkan cahaya matahari dan bulan yang materi, tetapi cahaya yang non materi yaitu kemuliaan Allah dan Anak Domba sendiri sebagai terang kota itu. 

Jika kemudian ditarik dalam sebuah konslusi, maka pemaknaan sederhana dari istilah penyebutan Yerusalem Baru merupakan salah satu nama kota yang disebutkan dalam Kitab Wahyu yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kota-kota lain. Dimana Yerusalem disebut sebagai kota yang kudus, turun dari surga, dari Allah yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kata “Yerusalem baru” berada dalam bingkai perikop yang berisi tentang “Langit dan bumi yang baru” (21:1-8). Penyebutan “kota yang kudus” sebenarnya menunjuk pada Kota yang berasal dari Allah karena kekudusan dalam Perjanjian Lama maupun baru selalu dihubungkan dengan Allah. Kekudusan dalam arti ini juga dapat dihubungkan dengan kesempurnaan. Hal ini dapat dilihat dari kelanjutan dari perikop ini: Lalu, aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru. Kota yang kudus (21;2); dalam Kitab Wahyu kota suci atau kudus adalah kota yang ideal. Di situ orang-orang yang percaya kepada Allah tinggal. Dalam sejarah keselamatan, keadaan tempat seperti itu berubah-ubah. Namun, pada akhirnya kota itu tidak hanya akan dibebaskan dari ancaman dan hambatan, tetapi akan diperbaharui secara menyeluruh dan mulia. Jadi penulis kitab ini ingin mengungkapkan bahwa Yerusalem baru merupakan perikop yang berisi tentang ”dunia baru” yang menjadi puncak dan pemenuhan seluruh pengharapan manusia beriman. Yerusalem baru adalah tujuan hidup umat yang percaya kepada Allah.[6]

Pada akhirnya kitab Wahyu memuat banyak simbol-simbol yang berupa angka, peristiwa, warna, dan sebagainya yang membingungkan itu,. tentu saja mewakili sebuah gagasan atau makna. Para ahli menyimpulkan bahwa orang Ibrani dan kebiasaannya cenderung berfikir secara kongkrit bukan abstrak. Ternyata berdasarkan konteks historis teks, paling tidak, ada dua alasan penggunaan bahasa simbol ini yakni, demi kejelasan pesan dan demi keamanan penyebaran pesan yang disampaikan melalui simbol-simbol tersebut. Tampaknya kedua alasan di atas menjadi alasan penggunaan simbol-simbol dalam kitab Wahyu ini.

Penggunaan simbol-simbol tampaknya bertujuan untuk mendukung kejelasan pesan yang akan disampaikan. Hal ini barangkali terkait dengan kecenderungan orang Ibrani untuk berfikir secara kongkrit. Namun ada juga yang menafsirkan bahwa simbol tersebut merupakan sebuah upaya penulis untuk menstimulasi pembacanya. Sementara itu simbol-simbol yang dipakai tampaknya adalah demi keamanan penyebaran pesan itu. Sebagaimana yang kita ketahui, pada saat penglihatan ini terjadi, Gereja Tuhan sedang mengalami penganiayaan yang sangat besar dibawah pemerintahan Romawi.

III.             Hubungan Apokaliptis Kitab Wahyu Dengan Kitab Daniel

Kitab Wahyu menggambarkan suatu pengalaman rohani Rasul Yohanes yang dianggap sebagai penulis. Ada banyak lambang atau simbol, dan semuanya itu dipakai untuk menggambarkan pengalaman rohani penulis kitab ini dalam bahasa manusia. Maka penulis kitab ini mendeskripsikan materi-materi, misalnya: batu-batu, tembok-tembok, pintu-pintu, model bentuk, ukuran-ukuran dan sebagainya. Semuanya adalah simbol-simbol, bukan pengertian secara harafiah, dan tidak boleh dipahami dengan konsep pola pikir manusia yang nyata. Jadi apa yang ada di kitab Wahyu yang diterima Yohanes ini tentu tidak bisa diungkapkan dalam bahasa manusia, itulah sebabnya dalam Kitab Wahyu ini memakai simbol-simbol sebagai perlambang dengan bahasa lisan dari tulisan manusia yang sangat terbatas, yang tidak sanggup dengan tuntas untuk melukiskan keadaan sebenarnya dari hal yang non-materi.

Kitab Daniel merupakan sastra apokaliptik yang paling tua, ditulis sekitar tahun 167-164 SM, dengan menggunakan bahasa Ibrani dan sebagaian lagi dalam bahasa Aram. Dalam kitab Daniel ditemukan dua pola yang berbeda antara pasal 1-6 dengan pasal 7-12. Daniel 1-6 banyak menceritakan kehidupan Daniel dan teman-temannya di dalam istana pada masa pemerintahan raja-raja Babel dan Persia abad ke-6 SM sedangkan Daniel 7-12 berisi berbagai penglihatan. Kitab Daniel berisi tentang beberapa penglihatan masa depan. Bagian apokaliptik dari Daniel terdiri dari tiga penglihatan dan sebuah komunikasi kenabian yang panjang, yang terutama berkaitan dengan masa depan Israel. Kitab ini menunjukkan pengharapan optimal bahwa masa pembuangan itu bukanlah untuk selama-lamanya. Karena bangsa yang menaklukkan Israel sendiri akan lenyap dari kancah sejarah, dan hendak diganti oleh bangsa lain. Tetapi waktu kerajaan-kerajaan itu sedang berjalan, Allah akan mendirikan suatu kerajaan yang lain, yang berbeda dari kerajaan-kerajaan manusia, yang akan meliputi seluruh alam dan akan kekal. Maka tujuan kitab Daniel ialah untuk mengajarkan kebenaran, bahwa walaupun umat Allah dalam perbudakan dari suatu bangsa lain, Allah sendirilah yang berdaulat dan menentukan nasib suatu bangsa. 

IV.             Kesimpulan

Pada dasarnya kitab Daniel dan kitab Wahyu merupakan sebuah kitab yang mengutarakan pemikiran yang diperlihatkan dengan adanya berbagai macam bentuk penglihatan. Penglihatan yang disampaikan terutama menyangkut pada zaman akhir. Relasi teologisnya adalah bahwa pada zaman akhir ini, kuasa-kuasa jahat akan menindas umat yang setia pada Allah, tetapi pada akhirnya kejahatan itu akan dihancurkan dan umat yang beriman akan diselamatkan.

Teologi kedua kitab melihat yang akan terjadi kemudian, penglihatan bukan diakhiri dengan hukuman dan kebinasaan yang dijatuhkan terhadap kerajaan atau penguasa-penguasa dunia itu, melainkan kedatangan seorang anak manusia yang diberi mahkota kehormatan, kekuasaan dan kemuliaan yang kekal untuk menguasai kerajaan yang tidak akan pernah berakhir, kekal selama-lamanya, dimana semua bangsa dan manusia akan mengabdi kepadaNya yaitu Allah itu sendiri dalam rupa manusia.

Penglihatan yang tertuang dalam kedua kitab adalah pandangan keabadian Allah yang adalah Sang Alfa dan Omega, yang awal dan akhir. Dia yang menciptakan dan Dia juga yang bisa mengakhiri ciptaanNya sesuai kehendakNya saja, sebab Allah yang berkuasa. Dunia akan berakhir, pengetahuan juga akan berakhir tapi satu hal yang tidak akan berakhir yaitu Sang Alpha dan Omega. Kedua kitab ini membuktikan bagaimana kuasa Allah akan dunia ini, yang tak seorangpun bisa sembunyi dihadapanNya.

GKJW sangat berpotensi sebagai “Yerusalem Baru”, sebuah “Gereja Kudus” kepunyaan Allah. Semua perlambang yang disajikan dalam bingkai program dengan terapan kegiatan yang sudah dan tengah serta akan dijalaninya, akan menjadi kenyataan dengan terwujudnya “Gereja Baru” yang tidak hanya untuk menopang primordial pribadi. Tetapi adalah Gereja Baru yang hadir tidak hanya sebagai perlambang kasih Kristus, tetapi yang senantiasa menyampaikan kasih yang berasal dari “Yerusalem Baru” milik Allah.

Daftar Pustaka :

[3] Pdt.Drs.Henk ten Napel,Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru,BPK Gunung Mulia 2006, hal 226
[4] Pdt.Drs.Henk ten Napel,Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru,BPK Gunung Mulia 2006, hal 225

[6] https://leonardoansis.wordpress.com/ yerusalem-baru-dalam-kitab-wahyu/(4 Mei 2016; 16;40)


Minggu, 26 Mei 2019

RELIGIO-HISTORIS MASYARAKAT JAWA


Berbicara mengenai Jawa atau orang Jawa bukan masalah geografis, pulau atau sering disebut dengan tanah Jawa. Jawa bukan soal sosio-linguistik, karena orang-orang atau keluarga yang menamakan dirinya modern, tidak pernah atau jarang sekali menggunakan bahasa Jawa pun tetap mengakui mereka orang Jawa atau keluarga Jawa. Jawa bukan semata-mata budaya dengan seni-seninya, yang diakui berpusat di kraton, karena mereka yang tinggal jauh dari kota sekalipun, mengaku sebagai orang Jawa. Sedangkan yang dimaksud Jawa di dalam kehidupan orang Jawa ialah sosio-religius, yaitu kehidupan orang Jawa yang terkait dengan keyakinan dan pandangan-pandangan hidup mereka. Keunikan kehidupan orang Jawa condong untuk bertahan pada sistem kerohaniannya yang tidak akan pernah tahu akan berakhir. Hidup orang Jawa yang dilatar belakangi kebatinan dan dipengaruhi oleh agama dengan dogma yang bermacam-macam, menjadikan konsepnya tentang Tuhan kabur dan tidak menentu.

KOSMOLOGI JAWA
Masyarakat Jawa atau orang Jawa tidak akan lepas dari kepercayaan lokal atau kosmologi yang beredar di kalangan orang Jawa. Kosmologi-kosmologi yang secara jelas mempengaruhi bahkan menguasai sebagian besar kebudayaan Jawa, pola pikir masyarakatnya dan cara mereka bertindak. Bicara soal kosmologi dan kepercayaan orang Jawa, maka tidak akan lepas dari yang namanya tradisi ruwatan dan slametan. Misalnya kosmologi seputar perairan baik mulai dari bentuk sungai, danau atau yang lebih dikenal Kedhung hingga kosmologi mengenai lautan. Kita tahu kalau sebagian pola kehidupan orang Jawa dihabiskan di daerah pesisir, entah di pesisir selatan maupun utara pulau Jawa. Masing-masing wilayah ini memiliki pengetahuan lokal tersendiri yang mengajarkan bagaimana masyarakatnya memperlakukan laut, masyarakat pesisir selatan melihat laut sebagai suatu wilayah yang gaib, sakral dan harus dihormati bahkan ditakuti. Berbeda dengan pemahaman orang Jawa di bagian pesisir utara yang melihat laut sebagai wilayah yang menyenangkan, tempat mencari penghidupan dan bermain anak-anak. Kehidupan masyarakat Jawa sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaan Jawa yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik. Kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur tersebut adalah Abangan, Santri dan Priyayi.

MITOLOGI MANUSIA JAWA
Masyarakat Jawa memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Sebenarnya hal itu bermula dari ilmu “titen”, yaitu ilmu mendeteksi suatu kejadian yang konstan, terjadi terus-menerus dan berkaitan dengan kejadian lain yang juga konstan berlangsung dalam kondisi yang sama atau serupa.  Selain itu masyarakat pintar menyimbolkan segala sesuatu, mengkait-kaitkan kejadian satu dengan kejadian yang lain, pintar membuat cerita-cerita yang akhirnya hingga saat ini banyak mitos yang berkembang di tanah Jawa.
Ada beberapa Mitos Jawa yang sampai saat ini masih dipercaya pada sebagian masyarakat dengan berbagai kejadian-kejadian alam sekitar yang berusaha untuk mengingatkan mahluk hidup yang tinggal didalamnya, terutama bila kejadian itu berulang-ulang. Kondisi tersebut tidak bisa dihindari dan diabaikan begitu saja karena sudah banyak kejadian yang ternyata memang berdampak besar dalam kehidupannya. Beberapa orang percaya bahwa mitos ini hanyalah sesuatu yang dianggap berhubungan dengan magis dan musyrik, dimana ada beberapa mitos yang berkembang di kehidupan yang bersifat positif.
                  
RASA
Rasa berfungsi sebagai sarana komunikasi antara diri manusia dengan segala kenyataan yang ada diluar. Komunikasi manusia dengan dunia luar bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan keadaan, dengan makhluk lain, dengan alam dan lingkungan dimana manusia hidup dan sebagainya. Komunikasi manusia dengan dunia luar berlangsung melalui ‘sinyal-sinyal’ (energi) yang kemudian dalam diri manusia diterima oleh instrumen yang disebut ‘rasa’. Rasa merupakan suatu kekuatan atau dorongan yang ‘menggelisahkan’ atau ‘mengusik’ diri manusia untuk bersemangat atau berani untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kalau sesuatu yang timbul tadi tidak ditindaklanjuti maka manusia akan terus gelisah. Rasa pada dasarnya menjadi ‘komandan’ yang mengeluarkan perintah untuk dilaksanakan. Hanya saja perintah tadi belum jelas menyatakan apa yang harus dilakukan. Bunyi perintah hanyalah: lakukan (atau jangan lakukan) sesuatu setelah menerima ‘sinyal’ dari luar.
Ada sebuah pepatah Jawa yang mengatakan "wong Jawa nggone rasa". Artinya, hidup orang Jawa berselimut rasa. Dalam pengertian bebas saya, pepatah ini mengandung maksud bahwa setiap laku dan perilaku dalam kehidupan orang Jawa tidak lepas dari perhitungan akan rasa dalam diri. Orang yang ingin menjadi Jawa, perlu menyelami rasa. Orang yang telah Jawa, berarti segala sikap dan perilakunya rasa yang bermain. Rasa merupakan kulit daging. Maka ada istilah raos Jawi (rasa Jawa), yakni, suatu kesadaran hidup yang dilandasi oleh ke-Jawa-an.

TENTANG SLAMETAN
Slametan kadang disebut juga dengan “kenduren” atau kita mengenalnya dengan kendurian, adalah sebuah upacara keagamaan paling umum dalam adat Jawa. Slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial bagi mereka individu Jawa yang ikut serta di dalamnya. Slametan adalah semacam proses untuk menyeimbangkan kosmis di lingkungan sekitar warga yang mengadakan slametan, slametan merupakan wadah kerjasama antar-warga yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan. Tradisi slametan sendiri terbagi atas dua fungsi dan tujuan yang hendak dicapai dengan diadakan slametan itu sendiri.
1.      Slametan desa atau bersih desa. Melakukan upacara slametan desa dengan tujuan meruwat atau menyucikan hubungan antara manusia dengan ruang/lokasi. Slametan desa ini dilakukan dengan cara memberi persembahan/aturi sesaji berupa makanan atau hidangan beserta lauk-pauknya dan hasil bumi kepada Danyang desa (roh penjaga) di tempat yang diketahui warga sebagai tempat bersemayamnya.
2.      Slametan selingan yang hanya diadakan pada saat terjadi peristiwa khusus yang tidak berulang tiap tahunnya. Slametan ini juga merupakan bentuk upacara pribadi, dengan tujuan supaya terlepas dari bahaya maut, sembuh dari penyakit berat, lulus ujian, naik pangkat, menempati rumah baru dan tentu sekian banyak kepentingan yang mewajibkan seseorang melakukan upacara yang disebut slametan.

AKAR KEPERCAYAAN JAWA
Sebelum orang Jawa mengenal dan kedatangan orang Hindu dan Islam, telah memiliki faham animisme yang mengangap semua benda Roh, yaitu kekuatan gaib yang tidak tampak tetapi kekuatan dan dayanya nyata, dan tidak seorangpun kuasa melawannya. Sarana penyembahan yang dipakai bisa berupa pohon, batu, gunung sungai laut sampai benda-benda milik orang yang dianggap suci.
Faham Jawa berikutnya, disebut dengan istilah dinamisme, yang memiliki pengertian bahwa setiap benda memiliki daya, contohnya, penjalin pethuk, kul buntet dan orang-orang yang dianggap aneh sifatnya yang dikumpulkan dalam tempat tertentu sebagai penambah daya gaib. Demikian juga roh-roh para leluhur yang sudah berada di alam baka, dianggap sebagai cikal bakal penjaga kampung atau desa.

FASE MITOS
Fase ini disebut juga masa pra hindu budha, ciri yang menonjol dari masyarakat saat itu adalah didasarkan pada aturan hukum adat serta sistem religinya, animisme dan dinamisme yang merupakan inti kebudayaan. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan masyarakat begitu kuat dengan sifat statis dan konservatifnya.
Ciri lainnya adalah kuatnya ikatan solidaritas sosial  dan hubungan pertalian darah. Pendewaan dan pemitosan terhadap Roh nenek moyang melahirkan penyembahan terhadap roh yang pada akhirnya menjadi hukum adat dan menganggap roh nenek moyang sebagai pelindung keluarga yang masih hidup.Keberadaan roh atau kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang  dapat menolong tetapi juga sebaliknya dapat mencelakakan. Sehingga ibadah bagi mereka tidak hanya mencari kepuasan batiniah saja, tetapi juga sebagai kewajiban sosial.

FASE IDEOLOGI
Salah satu yang patu dicatat pada fase ini adalah pengaruh budaya India yang sangat kuat. Masyarakat Jawa mulai menyerap unsur Hinduisme-Budhisme yang akhirnya berpengaruh terhadap sistem agama. Fase ini disebut juga masa Hindu-Budha. Terjadi trasformasi budaya melalui gerakan menerjemahkan kita Mahabarata dan Ramayana ke dalam bahasa Sansekerta.
Pada fase ini budaya Jawa bersifat terbuka yang disebut sinkretis (serba memuat). Pada masa ini agama sudah menganut faham teokratis, pengultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa sebagai salah satu buktinya. Agama diintegrasikan kedalam  kepentingan kerajaan. Sehingga kebudayaan berkisar pada Raja tahta dan keraton. Raja dan Kehidupan keraton adalah puncak peradapan pada masa itu.

FASE ILMU
Pada masa ini lebih cenderung ditekankan pada perkembangan budaya dan adat yang lebih maju dari sebelumnya, karena masyarakat Jawa sudah memiliki kepercayaan tidak lagi berkiblat pada pengaruh budaya hindu budha saja tetapi lebih realistis dan banyak yang sudah memakai pola pikir untuk memilih kepercayaan atau agama yang didasarkan pada ilmu dan idelalismenya. Pada masa ini, masyaarakat Jawa sudah mengenal dua agama besar yang masuk wilayah Jawa yaitu, islam dan kristen.
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 M.  Berasal dari Gujarat, India, Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia. Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor. Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.

TINJAUAN KRITIS
Konteks Religio-historis masyarakat Jawa sangat dipengaruhi unsur budaya yang kental dengan nuansa tradisi lokal. Unsur tradisi ini tidak hanya dilihat dari cara beribadatnya, tetapi juga sarana yang dipergunakannya. Namun pengaruh budaya, relasinya dengan tradisi terhadap perkembangan kepercayaan di Jawa, ternyata juga dipengaruhi perkembangan pola pikir manusia yang lebih dikenal dengan sebutan peradapan. Seperti yang telah dijabarkan diatas, dimana masyarakat Jawa diawali menganut animisne dengan tingkah laku yang tergolong primitif dan minim peradapan, sampai dengan pola peradapan tinggi namun tidak meninggalkan budaya lokal. Sehingga ketika menganut agama Kristen atau Islam yang bersumber pada ide atau ilmu, namun tidak meninggalkan akar budaya atau tradisi.

REFLEKSI TEOLOGIS
Cerita dalam alkitab nampaknya pengaruh budaya dan peradapan sangat beriringan sebagai contoh:
1.        Bagaimana Allah mengajar umat manusia dengan simbol budaya tradisi (2 loh batu/dasa titah),
2.     Bagaimana Allah mengajar umat manusia melalui proses pengajaran yang dilakukan oleh para   nabi.
3.     Bagaiman Allah ketika melihat manusia sudah mulai kenal peradaban yang tidak percaya lagi  dengan simbol dan tardisi, lalu hadirlah sosok Yesus.
4.    Keberadaaan Roh Kudus yang senantiasa membimbing manusia, dengan pemahaman bahwa manusia sudah memiliki pengetahuan tingkat tinggi bahwa mereka tanpa melihat sudah percaya.
Perkembangan kepercayaan manusia terhadap Tuhannya, terus menerus menuju kesempurnaan. Itu sebenarnya terjadi karena kekuatan Roh Kudus yang ingin seluruh ciptaan Tuhan itu sempurna pada akhirnya.