Rabu, 16 April 2014

“supaya panggilan dan pilihanmu semakin teguh untuk hidup saleh”

BACAAN : 2 Petrus 1: 3-11 (10) “supaya panggilan dan pilihanmu semakin teguh untuk hidup saleh” Panggilan untuk lebih bersemangat yang dinyatakan melalui perkataan”berusahalah sungguh-sungguh” mengarahkan kita untuk mengembangkan nilai-nilai yang baik dalam hubungan dengan Kristus. Dengan demikian membuat “panggilan dan pilihan” kita semakin teguh yang berarti meyakinkan, menegaskan atau meneguhkan panggilan yang telah kita terima. Arti panggilan yang terdapat dalam bacaan kita ini adalah panggilan untuk terus maju, artinya jika kita telah dipanggil oleh Allah maka kita harus meneguhkan panggilan itu melalui ketaatan kepadaNya, yaitu dengan tunduk dalam hal moralitas. Dan jika kita melakukannya, maka tidak ada keraguan tentang keselamatan maupun penyambutan akan harapan kita dalam kerajaaan Allah. Pada akhirnya disitulah kita bisa disebut orang yang memiliki hidup saleh atau kudus jika kita mampu merespon akan panggilan tersebut. Namun di masa sekarang merupakan sesuatu yang tidak mungkin memiliki hidup saleh di tengah-tengah situasi yang penuh dengan kejahatan dan kerusakan moral. Tetapi setiap orang percaya “dituntut” bisa hidup saleh. Hidup saleh adalah suatu kehidupan yang mewujudkan karakter Kristus. Ada alasan mengapa orang-orang percaya bisa hidup saleh, yaitu yang pertama, karena Allah telah mengaruniakan segala sesuatu yang berguna untuk hidup saleh (ay. 3) dan yang kedua adalah karena Allah telah menganugerahkan janji-janji yang berharga dan sangat besar untuk hidup saleh (ay. 4). Allah bukan saja memberikan segala sesuatu yang berguna tetapi dilengkapi dengan janji-janji yang berharga dan sangat besar agar umat yang dikasihi-Nya dapat hidup kudus. Ini menunjukkan Allah sangat serius dan sungguh-sungguh mempedulikan pertumbuhan rohani anak-anak-Nya sehingga Ia memberikan semua fasilitas dan kebutuhan untuk hidup kudus. Perlu diingat bagaimana cara orang percaya mewujudkan hidup saleh itu. Hidup saleh dapat dijalankan oleh orang-orang percaya dengan mengembangkan 7 sifat baik yang dimiliki Kristus dalam kehidupan sehari-hari (ay. 5-7), yaitu kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, kasih akan saudara-saudara, kasih akan semua orang. Ayat 5 menunjukkan bahwa kita harus memberikan respon yang serius karena dari pihak Allah juga sangat serius. Kita diperintahkan untuk menunjukkan sifat-sifat baik tersebut dengan sungguh-sungguh berusaha. Apabila kita sungguh-sungguh melakukannya, kita dapat menjadi orang-orang yang menang dan berbuah secara rohani di hadapan Allah. Sifat-sifat kesalehan tersebut tidak bertumbuh secara otomatis tanpa usaha kita yang tekun untuk mengembangkannya. Kita harus terlibat secara aktif dan sungguh-sungguh berusaha atau berusaha dengan sekuat-kuatnya. Ketika kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk hidup saleh, ada keuntungan yang dapat kita peroleh, yaitu : • Kita menjadi giat dan berhasil dalam pengenalan akan Tuhan. • Kita diberikan hak penuh untuk masuk dalam Kerajaan Surga.

Selasa, 18 Maret 2014

BERBEDA NAMUN TETAP SATU

BACAAN : 1 Korintus 12:14-18 BERBEDA NAMUN TETAP SATU Pendahuluan Panggilan untuk melayani bagi seseorang dilandasi atas pekerjaan Tuhan Yesus yang datang ke dunia untuk melayani bukan dilayani. Itulah sebabnya tanpa melihat siapakah dan bagaimana kondisi kehidupan kita, panggilan pelayanan diberikan kepada kita. Sebagai gereja yang dibangun dalam dasar “iman dan percaya” kepada Tuhan Yesus Raja gereja, maka orang yang hadir dan bersekutu di dalam gereja Tuhan adalah justru orang-orang yang sangat beragam latar belakang kehidupannya. Berangkat dari pemahaman bahwa kita memang beragam, namun memiliki tujuan yang sama, maka kita berupaya untuk dapat hidup nyaman dalam keberagaman, saling menghargai, saling menerima dan saling memahami sehingga tujuan hidup kita untuk memuliakan nama Tuhan menjadi sebuah realita bukan pengharapan yang kosong. Dan untuk itulah Firman Tuhan saat ini mengarahkan kita akan sebuah kesatuan dalam perbedaan. Realitas Kehidupan Perjalanan Rasul Paulus setelah menghadapi lawan-lawan yang begitu banyak di Korintus. senantiasa berusaha untuk tetap menjadi “imam” bagi gereja Tuhan, terlebih lagi menjawab tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh jemaat Tuhan di Korintus, yang diberitakan kepada rasul Paulus melalui surat-surat mereka. Munculnya pengajaran-pengajaran dari berbagai golongan menyebabkan pertentangan di tengah-tengah jemaat yang bahkan hampir menjurus kepada perpecahan. Masing-masing golongan dan para pengikutnya mengklaim diri sebagai yang paling utama atau yang terpenting. Pengelompokan berdasarkan golongan menyebabkan disharmonisasi persekutuan jemaat. Jikalau demikian situasinya, maka yang terjadi adalah masing-masing mengandalkan kemampuan dan pengetahuannya untuk melayani Tuhan. Rasul Paulus hendak membawa jemaat ke dalam sebuah pemahaman untuk melayani Tuhan dalam keberagaman, bukan dari golongan siapa yang terpenting tetapi bagaimana sesama orang percaya dapat melayani Tuhan dalam masing-masing keberadaannya. Masing-masing kita tidak mungkin memiliki karunia yang sama, karena tidak mungkin kita mampu mengerjakan semua hal kalau karunianya sama semua. Kenyataan yang harus kita sadari adalah bahwa kita memiliki karunia yang berbeda-beda namun memiliki tujuan yang sama. Sesungguhnya kita harus bersyukur atas karunia yang berbeda itu, karunia yang tidak seperti dimiliki oleh orang lain. Dan untuk itu, rasul Paulus mengingatkan jemaat tentang hakikat dirinya sebagai gereja. Jemaat harus menyadari bahwa dalam baptisan, mereka telah dibaptis oleh Roh menjadi satu tubuh dalam Kristus. Jadi masing-masing jemaat adalah anggota dari Tubuh Kristus. Saling Berelasi Sebagai tubuh, maka masing-masing bagian memiliki formasi yang sudah ditentukan sesuai dengan fungsi masing-masing. Dan kalau masing-masing masih menganggap yang lain tidak perlu, maka apa jadinya tubuh kita kalau yang ada hanya telinga saja, dimanakah mata, dan dimanakah alat penciuman? Kalau tubuh kita hanya mata saja, lalu bagaimanakah tubuh ini berjalan, dan bagaimana bergerak? Jadi setiap anggota “Tubuh Kristus” harus senantiasa merelasikan diri dengan anggota tubuh yang lain. Disinilah letaknya kesatuan sama seperti lidi, jikalau lidi hanya terdiri dari satu bagian maka lidi itu tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak akan mampu untuk menyapu kotoran-kotoran yang ada. Tetapi ketika lidi-lidi itu menyatukan diri dengan lidi yang lain sehingga membentuk satu ikatan dan kelompok yang besar, maka lidi itu akan menjadi sapu yang kuat dan kokoh dan mampu membersihkan kotoran-kotoran yang ada. Organ tubuh adalah sesuatu yang hidup. Ia memerankan sebuah fungsi tertentu. Masing-masing ada untuk memerankan fungsi tertentu yang tidak ditemukan dalam bagian tubuh lain. Jadi menjadi anggota Gereja berarti dipanggil untuk memainkan peran dan fungsi tertentu. Setiap anggota tubuh harus bersikap saling membutuhkan dan merawat. Bagian yang elok harus mendapat perhatian yang lebih. Bagian yang tidak terhormat justru harus diberi penghormatan khusus. Dengan begitu maka perpecahan dalam tubuh dapat dicegah. Setiap anggota tubuh didorong untuk saling memperhatikan dan saling membangun berdasarkan karunia masing-masing. Dalam ikatan kesatuan organis, jika satu bagian tubuh menderita, maka semua akan merasakan penderitaan itu. Dan jikalau satu tubuh dihormati maka semua akan merasakan penghormatan itu. Itulah persekutuan dan hakikat kehidupan gereja sebagai orang percaya. Gereja adalah tubuh Kristus dan kita semua adalah anggotanya. Penutup Masing-masing gereja diciptakan Tuhan dengan tujuan yang khusus, oleh karena itu setiap gereja juga memiliki kekhususan yang berbeda satu dengan yang lain. Jangan hanya melihat kelebihan dan kekhususan yang ada pada gereja lain, tetapi temukanlah kekhususan yang menjadi karunia Roh di dalam kehidupan bergereja kita. Dan dengan karunia itu, maka pelayanan akan menjadi sangat efektif dalam pekerjaan Tuhan. Perbedaan yang ada pada masing-masing kita sebagai tubuh Kristus, hendaknya jangan menjadi sumber perpecahan di antara kita, karena perbedaan itu tidak seharusnya membuat kita memiliki tujuan yang berbeda-beda tapi justru agar semua bidang dapat dikerjakan karena memiliki alat yang tepat sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing. Bukan kemampuan kita yang melakukan pekerjaan itu tetapi Allah lewat karunia yang Dia berikan dalam hidup kita yang melakukannya. Kesatuan organis di dalam jemaat sebagai anggota Tubuh Kristus itu akan terwujud jikalau jemaat terus berusaha mengejar karunia yang paling utama, yakni KASIH. Semua peran di atas akan dapat dijalankan dengan baik jika setiap anggota tubuh memberlakukan kasih, karena kasihlah karunia yang paling utama. Amin

Pergumulan Antara Hari Sabat dan Hari Minggu

Pergumulan Antara Hari Sabat dan Hari Minggu Bacaan : 1. Kejadian 2: 1-3 2. Lukas 6: 1-5 Sebuah pergumulan terkadang muncul dalam pembicaraan ringan warga jemaat tentang “apakah hari Sabat adalah hari Minggu?” Berbagai ungkapan penafsiran seringkali kita dengar dengan pandangan dari sudut pandang yang beragam tergantung kepada latar belakang penafsirnya. Secara Etimologi, hari “Sabat” yang artinya istirahat, adalah hari terakhir dari pekan, yaitu Sabtu. Hari Sabtu, yaitu hari ketujuh dalam pekan (Kejadian 2;1-3; Keluaran 20:8-11). Nabi Yesaya mengatakan “hari Sabat sebagai hari kenikmatan”(Yesaya 58:13, 14). Sedangkan hari “Minggu” adalah hari Ahad, ahad adalah kesatu, hari pertama dalam pekan. Sekilas kita mengingat tentang kebiasaan orang Babilon menyembah Dewa Matahari pada hari pertama, yang kemudian diikuti oleh orang-orang Israel, dan cara ini sangat menyakitkan hati Tuhan (Yehezkiel 8:16, 17). Pada awal pertumbuhan Kekristenan, orang Yahudi mendapat banyak tekanan dan aniaya dari kaisar Roma. Untuk menarik simpati dari rakyat dan kaisar, gereja mengadakan semacam aliansi dengan beribadah pada hari “suci bangsa Romawi”, yaitu hari Minggu, hari pertama pada pekan, karena pada hari itu orang Romawi mengadakan pemujaan kepada dewa Matahari. Tepatnya perubahan hari “kudus Allah” ini ialah pada tanggal 7 Maret 321 AD; seorang kaisar Roma, Flavius Valerius Aurelius Constantine, yang juga dikenal dengan nama Constantine the Great mengeluarkan satu undang-undang yang berlaku untuk semua penduduk di wilayah perkotaan agar tidak melakukan pekerjaan pada hari Minggu. Dalam undang-undang ini ia menekankan nama “Matahari” sebagai ilah. Seluruh rakyat harus berhenti dari pekerjaannya pada hari Matahari. Orang yang tidak mentaati undang-undang ini akan dibunuh, kecuali para petani. Mengingat hubungan yang harmonis telah tercipta pada waktu lalu, maka dapat dipastikan bahwa untuk menjaga semua hal ini, Paus (gereja) mendukung sepenuhnya UU Constantine. Dukungan Paus terlihat jelas ketika Konsili di Laodekia pada tahun 336 AD., gereja telah membuat suatu keputusan yaitu menyetujui UU ini, dan melarang orang bekerja pada hari Minggu. Pada satu ketika orang Farisi mempermasalahkan tindakan para murid Yesus memetik gandum pada hari Sabat. Melihat pola pikir mereka yang senantiasa mempersalahkan, Yesus mengecam cara mereka menguduskan hari Sabat yang kaku dengan berkata: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Markus 2:27, 28). Pada bagian ini Yesus ingin menegaskan kepada orang Farisi bahwa cara mereka menguduskan hari Sabat itu salah. Yesus adalah Tuhan atas hari Sabat, dan cara Yesus menguduskan hari Sabat itulah yang benar, dan bukan versi mereka. Ada yang mengklaim bahwa perintah dari Constantine “mengubah” Sabat dari hari Sabtu ke hari Minggu. Pada hari apakah gereja mula-mula berkumpul untuk beribadah? Alkitab tidak pernah menyebut orang-orang percaya berkumpul untuk bersekutu atau beribadah pada hari Sabat (Sabtu) manapun. Namun demikian, ada ayat-ayat yang dengan jelas menyebut hari pertama dalam minggu itu. Contohnya, Kisah Rasul 20:7 menjelaskan bahwa “Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti” (Kisah 20:7). Dalam 1 Korintus 16:2 Paulus menasihati orang-orang percaya di Korintus “Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing sesuai dengan apa yang kamu peroleh menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah” (1 Korintus 16:2). Karena Paulus menyebut persembahan ini sebagai ”pelayanan” dalam 2 Korintus 9:12, pengumpulan ini pastilah berhubungan dengan ibadah Minggu dari jemaat Kristen. Secara historis, Minggu, bukan Sabtu, adalah hari di mana biasanya orang-orang Kristen berkumpul di gereja, dan kebiasaan ini dapat ditelusuri kembali sampai abad pertama. Hari Sabat diberikan kepada Israel, bukan kepada gereja. Hari Sabat tetap adalah hari Sabtu, bukan hari Minggu dan tidak pernah diubah. Namun Sabat adalah bagian dari Hukum Taurat Perjanjian Lama, dan orang-orang Kristen bebas dari belenggu Hukum Taurat (Galatia 4:1-26; Roma 6:14). Orang Kristen tidak perlu memelihara “keramat Sabat”, baik itu Sabtu ataupun Minggu. Hari pertama dalam minggu itu, hari Minggu, hari Tuhan (Wahyu 1:10) memperingati ciptaan baru di mana Kristus adalah Pemimpin kita yang sudah bangkit. Kita sekarang bebas mengikuti Kristus yang bangkit – melayani. Rasul Paulus mengatakan bahwa masing-masing orang Kristen harus memutuskan apakah akan beristirahat pada hari Sabat, “Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri” (Roma 14:5). Hari Minggu memang menggantikan Sabat sebagai hari istirahat dan berkumpulnya jemaat, tetapi bedanya Sabat sabtu berfungsi sebagai perbuatan baik dalam ritual Taurat yang kalau dilanggar adalah dosa, sedangkan hari Minggu adalah hari berkumpul bagi umat Kristen yang dengan sukacita merayakan hari kebangkitan Yesus yang telah menang atas dosa dan maut dan telah memerdekakan mereka dari perhambaan kerja.

“Berilah Aku minum”

Bacaan : Yohanes 4: 5-26 “Berilah Aku minum” Perempuan Samaria datang untuk menimba air sumur pada siang hari yaitu saat kondisi panas terik. Perempuan Israel atau Samaria untuk mengambil air sumur umumnya dilakukan pada waktu pagi dan mereka selalu datang tidak sendirian. Tetapi perempuan Samaria tersebut justru datang tengah hari dan hanya seorang diri. Tampaknya dia secara sengaja menghindar dari pertemuan dengan banyak orang. Alasannya sangat jelas, bukan hanya karena dia seorang perempuan Samaria saja, tetapi juga karena kehidupan rumah-tangganya penuh dengan nista. Perempuan Samaria tersebut bukan hanya haus akan air, tetapi lebih dari pada itu dia juga haus akan kasih sayang. Tetapi tampaknya dia tidak pernah memperoleh kasih sayang yang sejati. Itu sebabnya dia sampai lima kali berganti suami, Keadaan inilah yang menyebabkan dia selalu menghindar dari kalayak ramai, karena banyak orang tahu siapakah dia yang sebenarnya. Tidaklah heran jikalau perempuan Samaria ini tidak memiliki teman. Dia datang sendirian menimba air sumur Yakub yang mungkin tempatnya cukup jauh dari rumahnya. Pandangan buruk dari masyarakat semakin membuat perempuan Samaria ini terpojok dan terbuang. Karena kini tidak ada orang yang berani menyapa dan berlaku ramah kepadanya. Perempuan Samaria tersebut benar-benar merana sendirian, seperti seorang yang haus di padang gurun. Tetapi saat dia mau menimba air, justru dia dikejutkan dengan sapaan seorang pria yang sedang duduk di tepi sumur yang berkata: “Berilah Aku minum”. Pria itu adalah Yesus yang sedang letih oleh karena perjalanan jauh yang baru saja ditempuhnya, Selama ini perempuan Samaria tersebut diacuhkan dan diabaikan, tetapi kini Yesus menyapa dan minta air minum kepadanya. Kehausan untuk memperoleh perhatian dan penghargaan yang dialami oleh perempuan Samaria tersebut mulai terpenuhi dengan sapaan ramah dari Yesus. Dia merasa dirinya berharga, karena ada orang yang minta bantuan kepadanya. Tuhan Yesus memposisikan perempuan Samaria ini sebagai seorang penolong yang murah hati. Sehingga perempuan Samaria ini merasa dirinya tersanjung. Maka kini mengalirlah suatu percakapan yang lahir dari hati sanubari terdalam. Saat itulah Yesus membawa perempuan Samaria tersebut ke arah pokok pembicaraan tentang karunia Allah yang berkenan menyediakan air hidup. Tuhan Yesus mengingatkan perempuan Samaria itu, yaitu: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal”. Maksud Tuhan Yesus cukuplah jelas, bahwa air yang berasal dari sumur Yakub tidak akan mampu memuaskan dahaga manusia. Tetapi apabila perempuan Samaria tersebut bersedia untuk minum air hidup dari Kristus, dia tidak haus lagi, bahkan Tuhan Yesus berkata bahwa dia akan menjadi mata air yang terus-menerus untuk memberi makna kehidupan yang menyelamatkan bagi sesamanya. Percakapan Yesus dengan perempuan Samaria tersebut berhasil menyingkapkan makna air hidup yaitu kasih karunia Allah yang menyelamatkan dan memberi kelegaan kepada mereka yang terbuang karena dosa. Perempuan Samaria tersebut juga berhasil menemukan jati dirinya, sebagai seorang yang berdosa dan terbuang dari hadapan Allah dan sesamanya. Tetapi seketika itu pula perempuan itu juga menemukan kekayaan kasih karunia Allah yang melegakan. Itu sebabnya dia berkata: “Tuhan, nyata sekarang padaku bahwa Engkau adalah nabi”. Dia menemukan diri Yesus sebagai seorang “nabi” yang telah menyingkapkan kebenaran Allah tentang kasih karuniaNya yang menyelamatkan. Perempuan Samaria tersebut telah menemukan suatu cara pandang yang sungguh-sungguh baru dan melegakan. Bagaimana dengan sikap hidup kita di masa Prapaskah ini? Satu kebulatan tekat yang perlu diambil adalah, dosa perlu diakui dan jikalau kita tidak mau mengakui dosa, tentu Tuhan akan membuka lembaran hitam kita seperti yang terjadi atas perempuan Samaria itu. Kesalahan dan dosa kita tidak dapat hilang dan tidak dapat dilupakan sebelum dibasuh dengan “darah Yesus”. Tetapi saat kita seperti perempuan Samaria itu yang merasa diri kotor dan berdosa, Allah berkenan menunjukkan kasihNya yang memulihkan dan menyelamatkan kita. Allah berkenan memberikan karunia air hidup saat kita sedang haus akan pengampunan dan kasih Allah. Kehidupan perempuan Samaria tersebut telah dipulihkan karena seluruh relung hati dan jiwanya telah diisi penuh oleh kasih Allah yang dicurahkan. Spiritualitasnya kini ditranformasi dan diperkaya berupa berkat-berkat keselamatan Allah secara melimpah. Air hidup itu akan melimpahi hati kita dan kita tergerak untuk juga pergi, berbagi berkat kepada orang lain. Masa menjelang atau persiapan masuk dalam “perjamuan kudus”, kita semua dipanggil oleh Tuhan untuk mengosongkan setiap ruang dalam hati yang selama ini diisi oleh berbagai keinginan, harapan semu, cita-cita yang berlebihan, sifat-sifat dan karakter yang tidak terpuji. Artinya hati dan roh kita masih sarat dengan berbagai hal yang duniawi seperti hawa-nafsu, ambisi-ambisi, keinginan yang serakah, maka kita terus bersungut-sungut dan akan mudah marah ketika keinginan kita tidak terpenuhi. Karena itu mari kita bersikap seperti perempuan Samaria yang bersedia dilucuti dan disingkapkan kegelapan masa lalu dan kekelaman batinnya. Maka pada saat itu pula kita bukan hanya mendengar suara Kristus, tetapi kita juga diperkenankan untuk menerima tubuh dan darah-Nya. Dialah Air Hidup itu sendiri, yang akan mengaruniakan kepada kita bukan hanya air hidup; tetapi juga Tuhan Yesus mampu menjadikan diri kita sebagai mata air yang terus memancar sampai kepada hidup yang kekal. “Berilah aku minum Tuhan, dan akupun bersedia memberikan air minum kepada sesama”. Amin

Senin, 20 Januari 2014

KUALITAS IMAN KRISTEN

Iman Kristen adalah kepercayaan yang teguh, lahir batin, pengetahuan dan pengakuan yang pasti bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat yang telah mengampuni dosa dan mengaruniakan hidup kekal. Bagi orang Kristen Iman itu semata-mata buah karya Roh Kudus, bukan usaha manusia. Iman itu tertanam dalam hati kita. Hati adalah pusat kepribadian setiap orang. Apa yang dipikirkan, dikatakan, dilakukan bersumber dan mengalir dari hati. Dengan demikian iman melibatkan kepriba¬dian kita seutuhnya. Beriman itu bersaksi bahwa Yesus Kristus itu Tuhan dan Juruselamat. Kesaksian itu terdorong oleh sukacita karena pengampunan dan hidup yang kekal yang telah diterima. Beriman juga berarti mengikuti Yesus Kristus, Allah sejati dan Manusia sejati. Dia bukan hanya Tuhan tetapi juga Manusia, yaitu Manusia yang tanpa dosa. Dia sungguh-sungguh Allah sekaligus sungguh-sungguh manusia, bukan Allah yang menyamar sebagai manusia tetapi Allah yang menjadi Manusia. Dia disebut "Imanuel" atau Allah beserta kita. Kepribadian-Nya unik atau khas, tak ada duanya. Beriman berarti taat kepada Tuhan. Pengertian "beriman" bersifat radikal (sampai keakar-akarnya). Ketaatan orang beriman dapat digambarkan seperti orang melompat di tempat gelap. la tidak mengerti apakah ia jatuh di tempat enak atau yang mencelakakan. Beriman berarti mau berserah kepada Tuhan, hidup atau mati. Yesus menjadi contoh paling sempurna mengenai ketaatan kepada Tuhan. Menjelang ditangkap di taman Getsemani Ia sangat miris, ketakutan. Karena itu Ia berdoa memohon agar Bapa menghindarkan cawan itu berlalu. Cawan merupakan simbol penyiksaan dan hukuman mati yang harus ditanggung-Nya. Kematian merupakan hal paling ditakuti oleh semua orang, termasuk Yesus. Tetapi doa Yesus dilanjutkan dengan "... tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki". Akhirnya Dia taat kepada kehendak Allah Bapa. Dalam segala situasi, kapan saja, di mana saja, di hadapan siapa saja, Dia selalu taat. Ketaatan-Nya kepada Bapa itulah yang kita teladani, supaya kita selalu taat kepada Tuhan. Dalam Perjanjian Lama kita mengenal sosok Ayub. Sebagai seorang anak Tuhan yang sangat taat beribadah dan menyembah Tuhan, iman Ayub perlu ujian. Selama hidupnya Ayub tidak pernah mengalami tantangan dan masalah dari mana pun. Karena tidak ada yang membuat Ayub meragukan kuasa Tuhan. Nah iman itu sekarang diuji dengan penderitaan. Kita dapat melihat bahwa semua yang Ayub punyai hilang dalam waktu sekejap mata. Dengan semua musibah yang dialaminya itu, kita tahu bahwa Ayub tetap setia kepada Tuhan. Mari kita memahami bahwa Allah menguji iman kita tidak hanya dengan kekayaan, kemakmuran, dan rasa aman serta hidup penuh dengan berkat tetapi juga dengan penderitaan. Dengan demikian kita tetap teguh di dalam iman percaya kita kepada Tuhan Yesus yang kita sembah. Kemenangan ada dipihak anak Tuhan yang tetap setia sekali pun hidupnya hancur, sekalipun secara manusia sangat menderita, sekali pun semua yang dipunyainya hilang dengan cara yang sangat menyakitkan. Allah kemudian mempermalukan iblis dengan menunjukkan bahwa Ayub tetap tegar dan terus berdiri teguh di dalam imannya. Saudara ingat bahwa Tuhan berpihak kepada anak-anakNya dan tidak membiarkan iman kita digoyahkan oleh pekerjaan iblis. Di dalam penderitaan yang kita alami,kita tetap setia kepada Tuhan, maka iblis dipermalukan. Prinsip kebenaran berikutnya adalah di dalam penderitaan yang Ayub alami justru kuasa dan pemeliharaan Allah semakin nyata. Ingat bahwa iblis hanya dapat menghancurkan hal-hal yang lahiriah tetapi tidak dapat mengganggu iman dan nyawa yang diberikan Allah. Hidup di dalam Tuhan berarti kita berjalan di dalam anugrah berlimpah. Walau pun kita menderita oleh berbagai macam hal tetapi Allah tidak membiarkan kita melangkah sendirian. Semakin kita menderita maka semakin kuasa Allah menjadi sangat nyata kita rasakan. Allah tidak meninggalkan Ayub sendirian. Ia hadir, Ia menopang, Ia menguatkan bahkan senantiasa menghibur. Kita semua pernah diperhadapkan dengan berbagai macam masalah dan penderitaan, bukankah di saat-saat seperti itu kita benar-benar merasakan bahwa Tuhan itu sungguh teramat baik dan selalu hadir di hidup kita. Allah mempunyai ribuan cara untuk menolong dan memelihara hidup kita. Mari bersikap seperti Ayub ketika menghadapi permasalahan, terus memuji Tuhan, hidup di dalam ucapan syukur dan selalu punya keyakinan bahwa kehendak dan cara kerja Tuhan adalah yang terbaik bagi hidup kita.