Rabu, 18 September 2019

“HARUSKAH BERSELISIH”


Bacaan : Markus 9:30-37

Perselisihan dikarenakan masing-masing pihak merasa diri berada di pihak yang paling benar dan menganggap pihak lain berada di posisi yang salah. Perselisihan tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang positif, justru semakin menjauhkan dari kebenaran. Perselisihan dikarenakan perkara yang kecil terkadang menyulut pertengkaran besar dengan mengorbankan banyak orang. Sebenarnya perselisihan tidak akan terjadi ketika setiap orang mampu memberikan tanggapan yang berlandaskan kasih walaupun diperlakukan secara tidak adil. Namun masih banyak orang yang tidak bersedia untuk menerapkan kasih, sebab dianggap sebagai tanda dari sikap orang yang lemah. Padahal mereka yang menganggap dirinya seorang pemberani, yang membuat sesamanya menjadi korban, justru merupakan bukti bahwa mereka lemah dalam mengendalikan diri. Mereka gagal untuk memenangkan kehidupan ini secara bermakna dan melahirkan banyak musuh. Semakin seseorang mampu mengendalikan diri, maka akan semakin mampu menjaga keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan ini. Kegagalan kita untuk memahami secara positif keberadaan sesama disebabkan karena kita gagal untuk memahami secara positif keberadaan diri sendiri. Perselisihan hanya dapat diatasi apabila kita selalu memulai untuk membangun karakter diri sesuai dengan hakikat umat yang telah ditebus oleh darah Kristus. Selama kita menghayati makna karya penebusan Kristus dalam kehidupan pribadi kita, maka kita juga akan dimampukan untuk memandang sesama sebagai umat yang juga telah ditebus Kristus.
Bacaan saat ini (ayat 34) menyaksikan bagaimana sikap para murid ketika ditegur oleh Tuhan Yesus saat mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka. Sikap para murid yang tidak mempedulikan di tengah situasi Tuhan Yesus memberitahukan tentang penderitaan dan kematian yang akan dialamiNya. Sebaliknya mereka justru lebih disibukkan dengan siapa yang paling berkuasa dan besar di antara mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketika seseorang menjadikan dirinya sebagai pusat, maka dia tidak akan mudah tersentuh dengan pergumulan sesamanya. Bahkan secara terbuka mempertengkarkan ambisi pribadinya. Mereka ingin memperoleh kedudukan yang tinggi dengan anggapan bahwa Tuhan Yesus adalah Mesias yang kelak akan memperoleh kekuasaan dan kemuliaan dari Allah. Sikap kecenderungan seseorang yang tamak untuk menjadi besar akan mendorong dia untuk cenderung berupaya membela dan mempertahankan diri dalam berelasi dengan sesamanya. Pada hakikatnya seorang yang berupaya membela dan mempertahankan diri disebabkan karena mereka merasa diri terancam. Mereka merasa orang-orang di sekitarnya berupaya untuk menganiaya atau melukai dirinya. Karena mereka terlalu sensitif dan merasa diri terancam, maka mereka juga akan berupaya untuk menyerang sesama yang dianggap melukai dirinya. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau sumber utama dari setiap perselisihan disebabkan karena masing-masing pihak dilatar-belakangi oleh sikap yang berupaya membela dan mempertahankan diri.
Karya penebusan Kristus pada hakikatnya telah mendamaikan diri kita dengan Allah dan sesama, juga telah mendamaikan diri kita dengan masa lalu kita yang pahit. Sehingga dengan kuasa penebusan Kristus, kita dimampukan untuk mengampuni orang lain dan juga mengampuni diri kita sendiri. Apabila kita telah mengalami karya penebusan Kristus yang mendamaikan dan mengampuni, maka kita tidak akan lagi mengembangkan pola sikap yang berupaya membela dan mempertahankan diri. Melalui hikmat Allah, kita disadarkan untuk menyingkirkan dan membuang secara total setiap bentuk dari sikap yang berupaya membela dan mempertahankan diri. Keberadaan hidup yang dilandasi oleh hikmat dari Allah selalu bersifat membebaskan dan membangun. Hikmat dari Allah memampukan kita untuk mengutamakan peningkatan prestasi yang digunakan untuk keselamatan dan kesejahteraan sesama. Dalam pemahaman ini benarlah apa yang telah diajarkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu: "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya”(ayat 35b). Konsep dunia mengajarkan bagaimana seseorang untuk menjadi terkemuka, dengan menonjolkan diri dan memaksa orang lain untuk melayani dia. Tetapi Kristus mengajarkan keutamaan prestasi dan kemuliaan spiritualitas. Apabila umat manusia dikuasai oleh kuasa dunia, maka umat manusia akan hidup dalam perselisihan yang lebih luas. Sebaliknya apabila setiap umat manusia bersedia untuk dikuasai oleh Roh Kudus, maka umat manusia akan hidup dalam penghargaan dan perdamaian dengan setiap sesamanya.
Perjamuan Kudus ”oikumene” mengingatkan kita akan makna bergereja yang sesungguhnya. Kata "oikumene" dalam bahasa Yunani berasal dari kata "oikos" yang berarti rumah, tempat tinggal dan "mene" dari kata "menein" yang berarti tinggal. Secara hurufiah "oikumene" berarti "rumah yang didiami" atau ”dunia yang didiami”. Pada hakekatnya Gereja itu tetap satu. Hanya saja Gereja yang satu itu menampakkan diri dalam keberagaman yang disebabkan oleh hal-hal positif dan negatif. Ada orang percaya ingin menghayati imannya dengan budaya dan bahasanya. Ketidakcocokan sekelompok warga gereja terhadap gereja, lalu mendorong mereka untuk mendirikan gereja baru. Dan masih terbuka kemungkinan terjadi keberagaman gereja, karena pemahaman manusia tentang Alkitab selalu terbatas. Ada gereja yang menekankan bagian tertentu dari Alkitab, ada gereja yang berusaha memahami secara utuh Alkitab. Melalui Perjamuan Kudus oikumene yang diselenggarakan oleh banyak gereja setiap tahunnya, merupakan upaya melestarikan sebuah gerakan oikumene untuk mewujudkan kesatuan gereja-gereja. Gerakan oikoumene ini didorong oleh keprihatinan atas mudahnya terjadi perpecahan gereja yang terus terjadi di dunia ini. Gerakan ini memiliki harapan agar Gereja bisa bersatu kembali.
Bagi kita yang terpenting adalah menghayati dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, kemudian melibatkan diri secara penuh dan bertanggung jawab di dalam Gereja sebagai anggota jemaatnya. Dengan demikian, sekalipun kita menemukan berbagai ketidakpuasan didalam gereja kita, kita tidak akan dengan mudah pindah ke gereja lain. Kalau kita pindah ke gereja lain karena tidak puas, maka akan sangat mungkin kita akan kembali mengalami kekecewaan lagi di tempat yang baru. Setiap anggota jemaat dapat mengambil bagian dalam membenahi kekurangan yang terdapat pada gerejanya. Gereja amat membutuhkan warga yang mau tekun dan setia turut ambil bagian dalam pekerjaan Tuhan, karena mereka merupakan benih yang baik untuk kedewasaan dan pertumbuhan gereja. Selamat mempersiapkan diri sendiri dan warga jemaat untuk masuk dalam masa-masa menghayati sebelum menerima Perjamuan Kudus.
Amin. 

Senin, 27 Mei 2019

Tinjauan Apokaliptis Kitab Wahyu Dan Kitab Daniel


"sekedar ulasan yang memerlukan waktu merenungkannya"
(yohanes didik)

I.                   Pendahuluan

Sebelum mengupas banyak hal tentang kitab Wahyu dalam Perjanjian Baru sebagai kitab apokaliptik yang dipadukan dengan Kitab Daniel dalam Perjanjian Lama yang digolongkan juga sebagai kitab Apokaliptis, perlu untuk memahami kata apokaliptik itu sendiri terlebih dahulu. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yang artinya menyingkapkan atau membukakan dan merujuk pada sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan sekarang telah disingkapkan sekarang. Kitab-kitab apokaliptik yang berasal dari periode intertestamen merupakan suatu catatan tentang peristiwa sejarah dari tahun 250 SM sampai 100 M, sekaligus memuat tanggapan iman bangsa Israel ketika berhadapan dengan berbagai bentuk krisis dan tirani pada masa itu. Oleh karena itu kitab-kitab ini tidak dapat dipahami dengan baik bila dilepaskan dari pengaruh religius, politik dan ekonomi pada waktu itu. Demikian juga sebaliknya bahwa sejarah dalam kitab ini, tidak bisa dipahami bila dilepaskan dari harapan dan kekhawatiran iman umat Allah yang terus bergema di dalamnya.[1]

Kitab Daniel dan Wahyu juga merupakan karya sastra yang kemudian dikenal dengan sastra apokaliptik, dengan ciri utama yang penting dari sastra apokaliptik ini diantaranya adalah penggunaan simbol-simbol. Terkadang bahasa simbolis yang digunakan mudah dimengerti namun kadang juga sulit dipahami. Simbol-simbol yang sering dipakai adalah binatang-binatang, manusia dan bintang-bintang, makhluk-makhluk mitologi, dan angka-angka. Sebagai contoh hal ini dapat kita temukan dalam kitab Wahyu  yang menyebut Roma sebagai Babel atau Kitab Daniel yang memakai nama-nama binatang untuk menyebutkan nama empat Negara. Sastra apokaliptik sangat menekankan sifat supranatural. Aspek supranatural ini diperlihatkan melalui sosok malaikat yang mewarnai tulisan-tulisan apokaliptik dan memiliki peran penting. Misalnya, dalam kitab Daniel kita dapat menemukan dua tokoh malaikat yaitu Gabriel (Daniel 8:16) dan Mikhael (Daniel 12:1). Sedangkan bila kita membaca sastra apokaliptik di kitab Wahyu, kita dapat menemukan pembedaan yang tegas antara dunia yang sekarang dengan dunia yang akan datang. Kitab ini berbicara tentang  akhir dunia yang semakin memburuk, lalu tiba-tiba muncul dunia baru yang serba indah.

Dalam pandangan apokaliptik, bumi dilihat secara menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada umat Israel. Tulisan apokaliptik juga tidak hanya melampaui batas sejarah sampai kedalam  situasi sesudah sejarah berakhir, tetapi juga situasi sebelum dunia diciptakan. Pola pikir dualistis seperti membedakan antara zaman sekarang dan akan datang, antara bumi dan sorga, antara orang suci dan orang jahat sangat menonjol dalam sastra apokaliptik. Sastra apokaliptik dengan demikian mendorong orang-orang agar dapat bertahan dalam penindasan. Sasaran akhir karya sastra ini adalah berakhirnya segala kejahatan, kekuasaan yang dimiliki negara-negara besar di dunia tidak akan bertahan lama, dan pada akhirnya zaman keselamatan itu tiba.[2] Dalam buku “Etika Perjanjian Baru“ berpendapat bahwa nada dasar yang mewarnai seluruh kitab Wahyu adalah pengharapan eskatologis. Allah sendiri yang digambarkan sebagai sumber penyataan menyangkut “apa yang harus segera terjadi”. Ungkapan ini menyatakan sifat determinisme yang merupakan salah satu ciri khas apokaliptik, yakni Allah telah menentukan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dan karena itu rencana Allah haruslah berlangsung. Kuasa apapun mustahil menghindarkan penggenapan rencana Allah itu.[3]

II.                Penelusuran Apokaliptis Wahyu 21

Secara garis besar kitab Wahyu diperkirakan ditulis pada tahun sembilan puluhan, abad pertama, yaitu ketika orang Kristen menderita dibawah pemerintahan Kaisar Domitianus. Dimana penulis kitab Wahyu menganggap penganiayaan terhadap orang Kristen sebagai ciri khas pada zaman itu, perlu dibekali menjelang perjuangan melawan mereka yang antikris.[4] Kitab Wahyu merupakan kitab yang ditempatkan paling terakhir dalam urutan kitab-kitab Perjanjian Baru. Kata “Wahyu” dalam nama kitab ini merupakan terjemahan dari kata Bahasa Yunani Apokalypsis yang berarti menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi. Kata ini sebenarnya menunjuk pada jenis sastra yang terdapat dalam kitab ini. Pada umumnya, sastra apokaliptik dalam konteks Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sebenarnya dimaksudkan untuk menyatakan rahasia-rahasia yang berhubungan dengan akhir zaman atau makna sejarah. Kitab ini berisi simbol-simbol dan lambang-lambang yang pada zaman sekarang menimbulkan pelbagai tafsiran yang tidak hanya beragam tetapi juga seringkali kontroversial.

Mengawali penelusuran apokaliptik kitab Wahyu 21, perlu dipahami bahwa  perikop ini ditulis dalam struktur syair yang melukiskan keadaan kota Yerusalem baru. Dipahami sebagai kota pengharapan, kota kemuliaan Allah dan perwujudannya dilambangkan sama seperti permata yang paling indah, kota dari emas tulen, tembok terbuat dari beragam permata. Karena ditulis dalam struktur syair, maka pemakaian kata atau istilah memiliki makna yang beragam. Diantaranya dipahami sebagai kota suci yang dikuduskan melalui darah Kristus. Kota Yerusalem baru menunjukkan pusat penyembahan orang-orang kudus, menjadi tanda penyertaan Allah dengan umat-Nya. Perlambang itu diterjemahkan misalnya, mempelai wanita dan istri bagi Anak Domba, adalah untuk menyatakan orang-orang kudus ditebus melalui darah Kristus, serta menjadi satu dengan Dia. Kemah yang ada ditengah-tengah manusia ialah penyertaan Allah dengan manusia, dalam bahasa Ibrani yaitu: "Imanuel" (Yesaya 7:14; Matius 1:23). Yang juga merupakan perwujudan nama inkarnasi Kristus. Sedangkan umat Allah menunjukkan orang-orang kudus yang adalah milik Allah, yang dikuasai Allah, dan menjadi umat Kerajaan Allah.

Semuanya disusun dalam struktur syair yang paralel, artinya dapat saling dibandingkan, sehingga kita bisa memahaminya melampaui makna yang sebenarnya. Sebagai contoh perbadingan misalnya, pencipta bersatu dengan ciptaan, sumber kehidupan kekal bersatu dengan hidup yang sementara, persatuan antara awal dan akhir yang kekal dengan awal dan akhir yang bersifat sementara, serta memasuki kekekalan yang tanpa awal dan akhir. Secara sederhana struktur syair perbadingan itu memiliki makna bahwa kehidupan ini membutuhkan dukungan sumber hidup, sehingga manusia sanggup berkembang dengan baik, melaksanakan amanat yang dibebankan padanya. Namun manusia telah menyimpang dari jalan Allah sehingga dipisahkan dari Allah, kini melalui penebusan Kristus, manusia yang terpisah secara temporal, sekali lagi dipersatukan dengan Allah, inilah "eksistensi kekal" dalam langit dan bumi baru.[5]

Penulusuran makna lebih lanjut bisa dikembangkan pemahaman kita akan kota Yerusalem baru yang disebut sebagai mempelai wanita yang turun dari Allah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia. Semua telah menjadi baru dan sangat nyata. Dalam kota suci tersebut terdapat takhta, ada air dari sumber hidup, ada pemenang, ada pula Anak Allah yang sifatnya rohani, semuanya bersifat non-materi. Artinya dalam langit dan bumi yang tidak ada perwujudan langit, bumi, laut yang sebenarnya, demikian juga tidak ada air mata, kematian, dosa, kesengsaraan, berhala dan sebagainya yang bersifat materi. Dibandingkan dengan sebuah fakta di dunia ini, dimana manusia diperhadapkan dengan air mata, kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kegelapan dan sebagainya. Semuanya ini akan berlalu, sebab akan dicampakkan ke dalam lautan api.

Jikalau kita memahami perikop ini dari sudut struktur syair, memang jika dijelaskan secara harafiah, mungkin saja ada orang menjadi senang dengan tafsiran ini, ada juga menjadi kurang bahkan tidak memahaminya. Pada saat memaparkan yang dimaksud dengan Kota suci itu adalah mempelai wanita, isteri dari Sang Anak Domba misalnya, ini adalah istilah kiasan yang menunjukkan kesatuan, sama sekali bukan rnenunjukkan hubungan suami isteri antar manusia. Dengan kilauan cahaya permata untuk menyatakan kemuliaan Allah dan keadaan terang benderang kota tersebut, jelas menunjukkan kebersihan serta nilai yang berharga dari kota itu. Kota ini juga dijelaskan dalam bahasa kiasan sebagai kota yang berbentuk empat persegi, dimana panjangnya sama dengan lebarnya. Kota itu diukur dengan tongkat dua belas ribu mil, dimana panjangnya dan lebarnya serta tingginya sama. Diskripsi ini memberi pengertian suatu ketulusan yang sempurna. Inilah kata sifat yang dipakai dalam istilah syair yang menunjukkan sifat kesempurnaan dalam bahasa rohani. Dua belas jenis permata sebagai fondasi kota itu, serta dua belas pintu mutiara semuanya juga adalah istilah kiasan, yang menyatakan kemuliaan, kebersihan serta betapa berharganya kota tersebut. Perlu untuk dipahami kemudian bahwa konsep kota suci tersebut adalah non-materi, non-konsep ruang, namun sang penulis kitab ini menganggap mutlak benar. Dengan demikian perikop ini juga ingin menyampaikan bahwa ciptaan Allah mencakup materi yang dapat dilihat oleh mata, serta keberadaan rohani yang tidak dapat terlihat oleh mata. Artinya seperti yang tertuang dalam awal perikop ini bahwa ciptaan dalam dunia materi itu akan berlalu menjelang datangnya langit dan bumi baru (Wahyu 21:1).

Sebuah analogi sederhana menunjukkan bahwa dalam kitab Kejadian Pasal 1 menunjukkan Allah memakai enam hari dalam menciptakan dunia dan umat manusia yang bersifat materi. Namun langit baru dan bumi baru ini bukanlah renovasi dari langit dan bumi yang lama, sebab langit dan bumi yang lama itu telah berlalu. Langit dan bumi baru ini turun dari Allah, dinyatakan dari Allah sendiri. Ditinjau dari sudut alur sejarah yang tertuang dalam kitab Injil, saat Yesus memulai memberitakan Injil, ada orang yang percaya kepadaNya, maka sejak itu jemaat pun didirikan. Jika pada saat itu berdirilah sebuah Jemaat, itu juga berarti berdirinya mempelai wanita Kristus, yang juga perwujudan langit dan bumi baru, yaitu berdirinya Yerusalem baru juga. Maka sebelum langit dan bumi lama itu berlalu, langit dan bumi baru itu telah ada. Sebab barang siapa yang di dalam Kristus, ialah ciptaan yang baru, yang lama telah berlalu, sesungguhnya yang baru datang (2 Korintus 5:17). Maka mempelai wanita pada langit dan bumi baru itu, bukan renovasi langit dan bumi lama, ia bukan ada setelah langit dan bumi yang lama itu berlalu, melainkan saat Kristus menggenapi karya penebusanNya. Inilah titik awal langit dan bumi yang baru, kota Yerusalem baru yang dimaksudkan oleh penulis kitab Wahyu.

Penulis kitab ini sepertinya memiliki keinginan juga untuk menarik sejarah latar belakang kehidupan masyarakat pada saat itu dengan memakai kiasan kota suci Yerusalem baru, untuk menyatakan bagaimana umat Israel yang menjadikan kota Yerusalem sebagai pusat ibadah mereka. Temboknya dibuat dari batu yaspis, kota dibuat dari emas tulen, seperti kristal yang bersih dan terang dan bila dijelaskan secara simbolik akan menjadi sangat mudah. Tembok dalam kota sebenarnya adalah satu kesatuan dalam kemuliaan, bahkan kehormatan yang tiada bandingannya. Dasar kota ini adalah terdiri dari 12 batu permata. Jikalau ditinjau dari makna simbolik Kitab Wahyu, maka permata-permata ini tidak lain melambangkan dasar kota yang murni, kudus dan satu kesatuan yang sempurna serta mulia. Dalam kota suci tidak ada Bait, sebab Allah adalah Bait kota itu sendiri. Bait Tuhan Yesus mutlak bersifat rohani, yang non-materi. Kota ini tidak membutuhkan cahaya matahari dan bulan yang materi, tetapi cahaya yang non materi yaitu kemuliaan Allah dan Anak Domba sendiri sebagai terang kota itu. 

Jika kemudian ditarik dalam sebuah konslusi, maka pemaknaan sederhana dari istilah penyebutan Yerusalem Baru merupakan salah satu nama kota yang disebutkan dalam Kitab Wahyu yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kota-kota lain. Dimana Yerusalem disebut sebagai kota yang kudus, turun dari surga, dari Allah yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kata “Yerusalem baru” berada dalam bingkai perikop yang berisi tentang “Langit dan bumi yang baru” (21:1-8). Penyebutan “kota yang kudus” sebenarnya menunjuk pada Kota yang berasal dari Allah karena kekudusan dalam Perjanjian Lama maupun baru selalu dihubungkan dengan Allah. Kekudusan dalam arti ini juga dapat dihubungkan dengan kesempurnaan. Hal ini dapat dilihat dari kelanjutan dari perikop ini: Lalu, aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru. Kota yang kudus (21;2); dalam Kitab Wahyu kota suci atau kudus adalah kota yang ideal. Di situ orang-orang yang percaya kepada Allah tinggal. Dalam sejarah keselamatan, keadaan tempat seperti itu berubah-ubah. Namun, pada akhirnya kota itu tidak hanya akan dibebaskan dari ancaman dan hambatan, tetapi akan diperbaharui secara menyeluruh dan mulia. Jadi penulis kitab ini ingin mengungkapkan bahwa Yerusalem baru merupakan perikop yang berisi tentang ”dunia baru” yang menjadi puncak dan pemenuhan seluruh pengharapan manusia beriman. Yerusalem baru adalah tujuan hidup umat yang percaya kepada Allah.[6]

Pada akhirnya kitab Wahyu memuat banyak simbol-simbol yang berupa angka, peristiwa, warna, dan sebagainya yang membingungkan itu,. tentu saja mewakili sebuah gagasan atau makna. Para ahli menyimpulkan bahwa orang Ibrani dan kebiasaannya cenderung berfikir secara kongkrit bukan abstrak. Ternyata berdasarkan konteks historis teks, paling tidak, ada dua alasan penggunaan bahasa simbol ini yakni, demi kejelasan pesan dan demi keamanan penyebaran pesan yang disampaikan melalui simbol-simbol tersebut. Tampaknya kedua alasan di atas menjadi alasan penggunaan simbol-simbol dalam kitab Wahyu ini.

Penggunaan simbol-simbol tampaknya bertujuan untuk mendukung kejelasan pesan yang akan disampaikan. Hal ini barangkali terkait dengan kecenderungan orang Ibrani untuk berfikir secara kongkrit. Namun ada juga yang menafsirkan bahwa simbol tersebut merupakan sebuah upaya penulis untuk menstimulasi pembacanya. Sementara itu simbol-simbol yang dipakai tampaknya adalah demi keamanan penyebaran pesan itu. Sebagaimana yang kita ketahui, pada saat penglihatan ini terjadi, Gereja Tuhan sedang mengalami penganiayaan yang sangat besar dibawah pemerintahan Romawi.

III.             Hubungan Apokaliptis Kitab Wahyu Dengan Kitab Daniel

Kitab Wahyu menggambarkan suatu pengalaman rohani Rasul Yohanes yang dianggap sebagai penulis. Ada banyak lambang atau simbol, dan semuanya itu dipakai untuk menggambarkan pengalaman rohani penulis kitab ini dalam bahasa manusia. Maka penulis kitab ini mendeskripsikan materi-materi, misalnya: batu-batu, tembok-tembok, pintu-pintu, model bentuk, ukuran-ukuran dan sebagainya. Semuanya adalah simbol-simbol, bukan pengertian secara harafiah, dan tidak boleh dipahami dengan konsep pola pikir manusia yang nyata. Jadi apa yang ada di kitab Wahyu yang diterima Yohanes ini tentu tidak bisa diungkapkan dalam bahasa manusia, itulah sebabnya dalam Kitab Wahyu ini memakai simbol-simbol sebagai perlambang dengan bahasa lisan dari tulisan manusia yang sangat terbatas, yang tidak sanggup dengan tuntas untuk melukiskan keadaan sebenarnya dari hal yang non-materi.

Kitab Daniel merupakan sastra apokaliptik yang paling tua, ditulis sekitar tahun 167-164 SM, dengan menggunakan bahasa Ibrani dan sebagaian lagi dalam bahasa Aram. Dalam kitab Daniel ditemukan dua pola yang berbeda antara pasal 1-6 dengan pasal 7-12. Daniel 1-6 banyak menceritakan kehidupan Daniel dan teman-temannya di dalam istana pada masa pemerintahan raja-raja Babel dan Persia abad ke-6 SM sedangkan Daniel 7-12 berisi berbagai penglihatan. Kitab Daniel berisi tentang beberapa penglihatan masa depan. Bagian apokaliptik dari Daniel terdiri dari tiga penglihatan dan sebuah komunikasi kenabian yang panjang, yang terutama berkaitan dengan masa depan Israel. Kitab ini menunjukkan pengharapan optimal bahwa masa pembuangan itu bukanlah untuk selama-lamanya. Karena bangsa yang menaklukkan Israel sendiri akan lenyap dari kancah sejarah, dan hendak diganti oleh bangsa lain. Tetapi waktu kerajaan-kerajaan itu sedang berjalan, Allah akan mendirikan suatu kerajaan yang lain, yang berbeda dari kerajaan-kerajaan manusia, yang akan meliputi seluruh alam dan akan kekal. Maka tujuan kitab Daniel ialah untuk mengajarkan kebenaran, bahwa walaupun umat Allah dalam perbudakan dari suatu bangsa lain, Allah sendirilah yang berdaulat dan menentukan nasib suatu bangsa. 

IV.             Kesimpulan

Pada dasarnya kitab Daniel dan kitab Wahyu merupakan sebuah kitab yang mengutarakan pemikiran yang diperlihatkan dengan adanya berbagai macam bentuk penglihatan. Penglihatan yang disampaikan terutama menyangkut pada zaman akhir. Relasi teologisnya adalah bahwa pada zaman akhir ini, kuasa-kuasa jahat akan menindas umat yang setia pada Allah, tetapi pada akhirnya kejahatan itu akan dihancurkan dan umat yang beriman akan diselamatkan.

Teologi kedua kitab melihat yang akan terjadi kemudian, penglihatan bukan diakhiri dengan hukuman dan kebinasaan yang dijatuhkan terhadap kerajaan atau penguasa-penguasa dunia itu, melainkan kedatangan seorang anak manusia yang diberi mahkota kehormatan, kekuasaan dan kemuliaan yang kekal untuk menguasai kerajaan yang tidak akan pernah berakhir, kekal selama-lamanya, dimana semua bangsa dan manusia akan mengabdi kepadaNya yaitu Allah itu sendiri dalam rupa manusia.

Penglihatan yang tertuang dalam kedua kitab adalah pandangan keabadian Allah yang adalah Sang Alfa dan Omega, yang awal dan akhir. Dia yang menciptakan dan Dia juga yang bisa mengakhiri ciptaanNya sesuai kehendakNya saja, sebab Allah yang berkuasa. Dunia akan berakhir, pengetahuan juga akan berakhir tapi satu hal yang tidak akan berakhir yaitu Sang Alpha dan Omega. Kedua kitab ini membuktikan bagaimana kuasa Allah akan dunia ini, yang tak seorangpun bisa sembunyi dihadapanNya.

GKJW sangat berpotensi sebagai “Yerusalem Baru”, sebuah “Gereja Kudus” kepunyaan Allah. Semua perlambang yang disajikan dalam bingkai program dengan terapan kegiatan yang sudah dan tengah serta akan dijalaninya, akan menjadi kenyataan dengan terwujudnya “Gereja Baru” yang tidak hanya untuk menopang primordial pribadi. Tetapi adalah Gereja Baru yang hadir tidak hanya sebagai perlambang kasih Kristus, tetapi yang senantiasa menyampaikan kasih yang berasal dari “Yerusalem Baru” milik Allah.

Daftar Pustaka :

[3] Pdt.Drs.Henk ten Napel,Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru,BPK Gunung Mulia 2006, hal 226
[4] Pdt.Drs.Henk ten Napel,Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru,BPK Gunung Mulia 2006, hal 225

[6] https://leonardoansis.wordpress.com/ yerusalem-baru-dalam-kitab-wahyu/(4 Mei 2016; 16;40)


Minggu, 26 Mei 2019

RELIGIO-HISTORIS MASYARAKAT JAWA


Berbicara mengenai Jawa atau orang Jawa bukan masalah geografis, pulau atau sering disebut dengan tanah Jawa. Jawa bukan soal sosio-linguistik, karena orang-orang atau keluarga yang menamakan dirinya modern, tidak pernah atau jarang sekali menggunakan bahasa Jawa pun tetap mengakui mereka orang Jawa atau keluarga Jawa. Jawa bukan semata-mata budaya dengan seni-seninya, yang diakui berpusat di kraton, karena mereka yang tinggal jauh dari kota sekalipun, mengaku sebagai orang Jawa. Sedangkan yang dimaksud Jawa di dalam kehidupan orang Jawa ialah sosio-religius, yaitu kehidupan orang Jawa yang terkait dengan keyakinan dan pandangan-pandangan hidup mereka. Keunikan kehidupan orang Jawa condong untuk bertahan pada sistem kerohaniannya yang tidak akan pernah tahu akan berakhir. Hidup orang Jawa yang dilatar belakangi kebatinan dan dipengaruhi oleh agama dengan dogma yang bermacam-macam, menjadikan konsepnya tentang Tuhan kabur dan tidak menentu.

KOSMOLOGI JAWA
Masyarakat Jawa atau orang Jawa tidak akan lepas dari kepercayaan lokal atau kosmologi yang beredar di kalangan orang Jawa. Kosmologi-kosmologi yang secara jelas mempengaruhi bahkan menguasai sebagian besar kebudayaan Jawa, pola pikir masyarakatnya dan cara mereka bertindak. Bicara soal kosmologi dan kepercayaan orang Jawa, maka tidak akan lepas dari yang namanya tradisi ruwatan dan slametan. Misalnya kosmologi seputar perairan baik mulai dari bentuk sungai, danau atau yang lebih dikenal Kedhung hingga kosmologi mengenai lautan. Kita tahu kalau sebagian pola kehidupan orang Jawa dihabiskan di daerah pesisir, entah di pesisir selatan maupun utara pulau Jawa. Masing-masing wilayah ini memiliki pengetahuan lokal tersendiri yang mengajarkan bagaimana masyarakatnya memperlakukan laut, masyarakat pesisir selatan melihat laut sebagai suatu wilayah yang gaib, sakral dan harus dihormati bahkan ditakuti. Berbeda dengan pemahaman orang Jawa di bagian pesisir utara yang melihat laut sebagai wilayah yang menyenangkan, tempat mencari penghidupan dan bermain anak-anak. Kehidupan masyarakat Jawa sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaan Jawa yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik. Kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur tersebut adalah Abangan, Santri dan Priyayi.

MITOLOGI MANUSIA JAWA
Masyarakat Jawa memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Sebenarnya hal itu bermula dari ilmu “titen”, yaitu ilmu mendeteksi suatu kejadian yang konstan, terjadi terus-menerus dan berkaitan dengan kejadian lain yang juga konstan berlangsung dalam kondisi yang sama atau serupa.  Selain itu masyarakat pintar menyimbolkan segala sesuatu, mengkait-kaitkan kejadian satu dengan kejadian yang lain, pintar membuat cerita-cerita yang akhirnya hingga saat ini banyak mitos yang berkembang di tanah Jawa.
Ada beberapa Mitos Jawa yang sampai saat ini masih dipercaya pada sebagian masyarakat dengan berbagai kejadian-kejadian alam sekitar yang berusaha untuk mengingatkan mahluk hidup yang tinggal didalamnya, terutama bila kejadian itu berulang-ulang. Kondisi tersebut tidak bisa dihindari dan diabaikan begitu saja karena sudah banyak kejadian yang ternyata memang berdampak besar dalam kehidupannya. Beberapa orang percaya bahwa mitos ini hanyalah sesuatu yang dianggap berhubungan dengan magis dan musyrik, dimana ada beberapa mitos yang berkembang di kehidupan yang bersifat positif.
                  
RASA
Rasa berfungsi sebagai sarana komunikasi antara diri manusia dengan segala kenyataan yang ada diluar. Komunikasi manusia dengan dunia luar bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan keadaan, dengan makhluk lain, dengan alam dan lingkungan dimana manusia hidup dan sebagainya. Komunikasi manusia dengan dunia luar berlangsung melalui ‘sinyal-sinyal’ (energi) yang kemudian dalam diri manusia diterima oleh instrumen yang disebut ‘rasa’. Rasa merupakan suatu kekuatan atau dorongan yang ‘menggelisahkan’ atau ‘mengusik’ diri manusia untuk bersemangat atau berani untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kalau sesuatu yang timbul tadi tidak ditindaklanjuti maka manusia akan terus gelisah. Rasa pada dasarnya menjadi ‘komandan’ yang mengeluarkan perintah untuk dilaksanakan. Hanya saja perintah tadi belum jelas menyatakan apa yang harus dilakukan. Bunyi perintah hanyalah: lakukan (atau jangan lakukan) sesuatu setelah menerima ‘sinyal’ dari luar.
Ada sebuah pepatah Jawa yang mengatakan "wong Jawa nggone rasa". Artinya, hidup orang Jawa berselimut rasa. Dalam pengertian bebas saya, pepatah ini mengandung maksud bahwa setiap laku dan perilaku dalam kehidupan orang Jawa tidak lepas dari perhitungan akan rasa dalam diri. Orang yang ingin menjadi Jawa, perlu menyelami rasa. Orang yang telah Jawa, berarti segala sikap dan perilakunya rasa yang bermain. Rasa merupakan kulit daging. Maka ada istilah raos Jawi (rasa Jawa), yakni, suatu kesadaran hidup yang dilandasi oleh ke-Jawa-an.

TENTANG SLAMETAN
Slametan kadang disebut juga dengan “kenduren” atau kita mengenalnya dengan kendurian, adalah sebuah upacara keagamaan paling umum dalam adat Jawa. Slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial bagi mereka individu Jawa yang ikut serta di dalamnya. Slametan adalah semacam proses untuk menyeimbangkan kosmis di lingkungan sekitar warga yang mengadakan slametan, slametan merupakan wadah kerjasama antar-warga yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan. Tradisi slametan sendiri terbagi atas dua fungsi dan tujuan yang hendak dicapai dengan diadakan slametan itu sendiri.
1.      Slametan desa atau bersih desa. Melakukan upacara slametan desa dengan tujuan meruwat atau menyucikan hubungan antara manusia dengan ruang/lokasi. Slametan desa ini dilakukan dengan cara memberi persembahan/aturi sesaji berupa makanan atau hidangan beserta lauk-pauknya dan hasil bumi kepada Danyang desa (roh penjaga) di tempat yang diketahui warga sebagai tempat bersemayamnya.
2.      Slametan selingan yang hanya diadakan pada saat terjadi peristiwa khusus yang tidak berulang tiap tahunnya. Slametan ini juga merupakan bentuk upacara pribadi, dengan tujuan supaya terlepas dari bahaya maut, sembuh dari penyakit berat, lulus ujian, naik pangkat, menempati rumah baru dan tentu sekian banyak kepentingan yang mewajibkan seseorang melakukan upacara yang disebut slametan.

AKAR KEPERCAYAAN JAWA
Sebelum orang Jawa mengenal dan kedatangan orang Hindu dan Islam, telah memiliki faham animisme yang mengangap semua benda Roh, yaitu kekuatan gaib yang tidak tampak tetapi kekuatan dan dayanya nyata, dan tidak seorangpun kuasa melawannya. Sarana penyembahan yang dipakai bisa berupa pohon, batu, gunung sungai laut sampai benda-benda milik orang yang dianggap suci.
Faham Jawa berikutnya, disebut dengan istilah dinamisme, yang memiliki pengertian bahwa setiap benda memiliki daya, contohnya, penjalin pethuk, kul buntet dan orang-orang yang dianggap aneh sifatnya yang dikumpulkan dalam tempat tertentu sebagai penambah daya gaib. Demikian juga roh-roh para leluhur yang sudah berada di alam baka, dianggap sebagai cikal bakal penjaga kampung atau desa.

FASE MITOS
Fase ini disebut juga masa pra hindu budha, ciri yang menonjol dari masyarakat saat itu adalah didasarkan pada aturan hukum adat serta sistem religinya, animisme dan dinamisme yang merupakan inti kebudayaan. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan masyarakat begitu kuat dengan sifat statis dan konservatifnya.
Ciri lainnya adalah kuatnya ikatan solidaritas sosial  dan hubungan pertalian darah. Pendewaan dan pemitosan terhadap Roh nenek moyang melahirkan penyembahan terhadap roh yang pada akhirnya menjadi hukum adat dan menganggap roh nenek moyang sebagai pelindung keluarga yang masih hidup.Keberadaan roh atau kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang  dapat menolong tetapi juga sebaliknya dapat mencelakakan. Sehingga ibadah bagi mereka tidak hanya mencari kepuasan batiniah saja, tetapi juga sebagai kewajiban sosial.

FASE IDEOLOGI
Salah satu yang patu dicatat pada fase ini adalah pengaruh budaya India yang sangat kuat. Masyarakat Jawa mulai menyerap unsur Hinduisme-Budhisme yang akhirnya berpengaruh terhadap sistem agama. Fase ini disebut juga masa Hindu-Budha. Terjadi trasformasi budaya melalui gerakan menerjemahkan kita Mahabarata dan Ramayana ke dalam bahasa Sansekerta.
Pada fase ini budaya Jawa bersifat terbuka yang disebut sinkretis (serba memuat). Pada masa ini agama sudah menganut faham teokratis, pengultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa sebagai salah satu buktinya. Agama diintegrasikan kedalam  kepentingan kerajaan. Sehingga kebudayaan berkisar pada Raja tahta dan keraton. Raja dan Kehidupan keraton adalah puncak peradapan pada masa itu.

FASE ILMU
Pada masa ini lebih cenderung ditekankan pada perkembangan budaya dan adat yang lebih maju dari sebelumnya, karena masyarakat Jawa sudah memiliki kepercayaan tidak lagi berkiblat pada pengaruh budaya hindu budha saja tetapi lebih realistis dan banyak yang sudah memakai pola pikir untuk memilih kepercayaan atau agama yang didasarkan pada ilmu dan idelalismenya. Pada masa ini, masyaarakat Jawa sudah mengenal dua agama besar yang masuk wilayah Jawa yaitu, islam dan kristen.
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 M.  Berasal dari Gujarat, India, Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia. Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor. Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.

TINJAUAN KRITIS
Konteks Religio-historis masyarakat Jawa sangat dipengaruhi unsur budaya yang kental dengan nuansa tradisi lokal. Unsur tradisi ini tidak hanya dilihat dari cara beribadatnya, tetapi juga sarana yang dipergunakannya. Namun pengaruh budaya, relasinya dengan tradisi terhadap perkembangan kepercayaan di Jawa, ternyata juga dipengaruhi perkembangan pola pikir manusia yang lebih dikenal dengan sebutan peradapan. Seperti yang telah dijabarkan diatas, dimana masyarakat Jawa diawali menganut animisne dengan tingkah laku yang tergolong primitif dan minim peradapan, sampai dengan pola peradapan tinggi namun tidak meninggalkan budaya lokal. Sehingga ketika menganut agama Kristen atau Islam yang bersumber pada ide atau ilmu, namun tidak meninggalkan akar budaya atau tradisi.

REFLEKSI TEOLOGIS
Cerita dalam alkitab nampaknya pengaruh budaya dan peradapan sangat beriringan sebagai contoh:
1.        Bagaimana Allah mengajar umat manusia dengan simbol budaya tradisi (2 loh batu/dasa titah),
2.     Bagaimana Allah mengajar umat manusia melalui proses pengajaran yang dilakukan oleh para   nabi.
3.     Bagaiman Allah ketika melihat manusia sudah mulai kenal peradaban yang tidak percaya lagi  dengan simbol dan tardisi, lalu hadirlah sosok Yesus.
4.    Keberadaaan Roh Kudus yang senantiasa membimbing manusia, dengan pemahaman bahwa manusia sudah memiliki pengetahuan tingkat tinggi bahwa mereka tanpa melihat sudah percaya.
Perkembangan kepercayaan manusia terhadap Tuhannya, terus menerus menuju kesempurnaan. Itu sebenarnya terjadi karena kekuatan Roh Kudus yang ingin seluruh ciptaan Tuhan itu sempurna pada akhirnya.




Jumat, 29 Maret 2019

...pelayanan kedukaan...menu utamakah bagi gereja?

Salah satu pelayanan gereja yang dibutuhkan warga jemaat di tengah krisis yang beragam adalah pelayanan pastoral atau lebih sederhananya dipahami dengan “percakapan pendampingan” secara serius. Persoalan atau permasalahan yang beragam tersebut bisa bersifat individu atau kelompok yang berkaitan dengan ranah sosial, ekonomi, hukum dan lain-lain seperti kedukaan yang berlarut-larut, pertikaian, tekanan jiwa, pengangguran, perceraian, pembagian warisan yang banyak terjadi dalam kehidupan warga jemaat. Situasi ini mendorong gereja untuk lebih meningkatkan pelayanan pastoralnya dalam upaya menolong warga untuk mendapatkan kesembuhan, topangan, bimbingan, dan kedamaian. Sampai saat ini, pelayanan pastoral yang dilakukan oleh banyak gereja diakui masih belum optimal, alasan klasiknya adalah jumlah tenaga pelayan, utamanya pendeta, yang terbatas waktu dengan kesibukan organisasi lainnya dan persiapan secara akademis-teoritis yang jauh dari realitas kehidupan warga jemaat. Akibatnya, banyak anggapan bahwa tenaga untuk pelayanan pastoral, hanya menguasai teori namun tidak terampil dalam melayani, dan ada juga yang berpendapat bahwa rumusan teologi pastoral kurang atau bahkan tidak lagi relevan dengan kebutuhan warga yang dilayani pada masa kini. 

Salah satu pelayanan pastoral yang saat ini perlu dicermati dan kurang mendapat perhatian adalah tentang kedukaan. Dimana kedukaan sering dianggap hanya muncul jika disebabkan karena ada kerabat terdekatnya meninggal dunia, walaupun sebenarnya kedukaan tidak terbatas kepada hal yang kaitannya dengan kematian seseorang saja. Kedukaan selalu berkaitan dengan hilangnya sesuatu atau menjauhnya seseorang yang dianggap berharga atau bernilai. Kedukaan merupakan reaksi manusiawi untuk mempertahankan diri ketika kita sedang menghadapi peristiwa kehilangan terlebih yang kita sayangi. Setiap orang pasti tidak akan terhindarkan adanya kedukaan dalam hidupnya. Kedukaan baik dalam menghadapi penyakit kritis, ditinggalkan oleh orang yang kita cintai, kehancuran bisnis, keterpurukan karena anak bermasalah, cita-cita hidup yang hancur dan berbagai kedukaan lainnya, yang jika tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan beban hidup. Dari beban hidup yang berkategori ringan sampai dengan tingkat berat yang menuju kecenderungan untuk putus asa dan mengarah kedalam tindakan fatal yaitu bunuh diri. Sehingga proses pendampingan yang tepat sangat dibutuhkan, dengan harapan akan memampukan seseorang memaknai setiap kedukaan yang dialami dan mampu menghayati kehidupannya dengan menata diri menghadapi masa depan yang lebih baik. Wujud kedukaan yang dimiliki seseorang bisa diamati melalui sikap atau tingkah laku yang terlihat ditonjolkan, yaitu mereka bersikap pasif atau pasrah. Mereka berdalih bahwa itu terjadi karena dipahami sebagai kejadian yang dikehendaki oleh Allah. Sebaliknya ada yang memunculkan sikap agresif dengan beragam tindakan diantaranya, seringnya mengeluh, memberontak, memprotes karena tidak dapat menerima kondisi sebuah peristiwa kehilangan tadi. Bahkan ada juga yang mengalami perasaan tanpa arah, bayang-bayang ketakutan yang luar biasa, merasa tertekan karena tidak mampu menanggung beban penderitaan yang seolah-olah akan dialaminya. Peran pelayan atau pendeta disinilah sangat diperlukan untuk melakukan pendampingan yang berfungsi membimbing, mendamaikan serta menopang, mengasuh, dan menjadikan keutuhan hidup terhadap warga jemaat yang berduka tersebut. 

Pelayanan kedukaan menyangkut pendampingan keseluruhan hidup dan setiap aspek kehidupan. Dalam hal ini bukan hanya lewat khotbah atau perkunjungan “patuwen” biasa saja, tetapi sentuhannya lebih kepada seluruh aspek kehidupan warga jemaat yang mengalami kedukaan. Mereka yang berduka diarahkan kepada penyembuhan dan merasakan kembali ke dalam kehidupan yang normal. Artinya dengan pelayanan kedukaan, membuat warga yang berduka bisa keluar dari kedukaannya, itu prinsip utamanya. Sangat diharapkan pelayan dalam mendampingi warganya, memiliki kepekaan terhadap apa yang menjadi kebutuhan utama warga jemaat yang mengalami situasi yang tidak mudah bisa diterimanya tersebut. Pengalaman memberikan banyak catatan contoh untuk dipahami, bahwa kedukaan adalah sikap atau reaksi seseorang terhadap berpisahnya dari seorang atau sesuatu yang berharga yang dicintainya. Hal ini mengindikasikan bahwa kedukaan bukanlah peristiwa atau kejadian abadi yang terus menerus berlangsung tanpa akhir, namun akan berakhir, namun membutuhkan waktu dan proses. 

Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti akan selalu diperhadapkan dengan perasaan duka, dari peristiwa kehilangan akan hal-hal besar maupun hal-hal yang kecil, artinya seseorang pasti akan mengalami tahap-tahap kedukaan. Kedukaan bisa mencakup apa yang kita rasakan, pikirkan, kehendaki dan kerjakan. Sehingga tidak salah jika banyak orang mengatakan bahwa kedukaan dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita. Reaksi terhadap kedukaan seseorang tidak selalu sama, ada yang bersikap pasif, agresif, depresif, sehingga pendampingan adalah menu utamanya. Sangat penting bagi orang-orang di sekitar warga jemaat yang sedang berduka untuk memiliki kepekaan dalam memberikan penghiburan dan rasa simpati. Setidaknya dengan berkumpul bersama kerabat dekat, dan dengan banyaknya ungkapan simpati melalui kontak pribadi dapat membantu seseorang melewati masa-masa kedukaannya. Setidaknya warga jemaat sudah banyak yang memahami melalui renungan baik pribadi atau dalam berjemaat yang bersumber dari Alkitab, bahwa pada dasarnya hidup ada kawasan yang merupakan ladang krisis atau kedukaan. Beberapa langkah tentang proses memberikan pertolongan kepada sesama yang mengalami kedukaan antara lain, keterlibatan segera sebagai wujud aksi nyata, membantu menciptakan harapan dalam pemecahan masalah, serta membangun rasa menghargai dan menanamkan kepercayaan diri sendiri. Dari beberapa contoh langkah di atas, maka penting sekali peranan pendeta dalam melakukan pelayanan kepada warga jemaat yang mengalami duka dan diharapkan menemukan model penggembalaan duka yang tepat. Sebagai alternatif tindakan atau langkah-langkah yang bisa dilakukan diantaranya dengan menciptkan situasi, dimana warga jemaat yang berduka dapat: 
• Menerima baik secara rasional maupun secara emosional kondisi tersebut.  
• Mencernakan perasaan-perasaan atau emosi-emosi yang berat sekalipun. 
• Belajar hidup dan membuat situasi hidupnya yang baru sebagai suatu tugas yang harus diselesaikan.

Perkunjungan dan percakapan dengan volume yang lebih dari biasanya yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu untuk membantu supaya dapat menunaikan tugasnya dalam proses kedukaannya juga perlu mendapat perhatian bagi pelayan, terutama seorang pendeta. Banyak teknik tentunya dari beragam sumber yang bisa dilakukan untuk menerapkan langkah tindakan tersebut. Seorang pelayan bisa memulai dengan meruntuhkan beban yang berupa dendam atau luka batin atau bentuk duka yang lainnya, yang dimulai dari diri sendiri, dengan maksud dan sangat dibutuhkan untuk tidak terjadi “transfer kedukaan” dalam diri pelayan sendiri kepada yang berduka. Jika tidak, maka kita diingatkan dengan ungkapan sederhana yakni “masak orang sakit menyembuhkan orang yang memiliki penyakit yang sama”. Reaksi terhadap kedukaan masing-masing warga jemaat tentu berlainan, sehingga seorang pelayan harus mengetahui apa yang dibutuhkan atau tidak dan bagaimana bentuknya. Setiap pelayan harus memperlengkapi diri dengan pengetahuan yang banyak tentang orang yang mengalami kedukaan. Dengan demikian warga jemaat yang mengalami kedukaan, mampu menghayati situasi dan keadaan yang mereka anggap bisa diselesaikan dengan baik. Setiap pelayan, terutama seorang pendeta yang sedang mendekati warga jemaat yang berduka, memastikan langkah awal dengan mengetahui situasi orang tersebut dalam hal apa yang perlu dan bisa didekati serta meneeliti apa penyebabnya. Karena setiap warga jemaat yang mengalami kedukaan, cenderung mempunyai sikap yang berbeda dalam usaha untuk menghindar dari situasi yang menyakitkan tersebut. 

Pelayanan kedukaan adalah pelayanan yang tulus, tindakan yang penting untuk menolong warga jemaat yang mengalami krisis akibat kedukaan. Seorang pelayan dipandang dapat menjadi pembimbing dan sahabat yang efektif bagi warga jemaat yang mengalami kehilangan. Tentu saja dengan memahami bahwa pendampingan kepada warga jemaat yang sedang berduka bukan hanya mempertimbangkan permasalahan yang ada pada keluarga saja, tetapi juga memperhatikan bagaimana pelayan dapat membantu untuk melepaskan perasaan duka mereka secara baik. Penting sekali sebagai seorang pelayan, terutama pendeta untuk memahami kebutuhan warga yang berduka dan membantu mengatur kebutuhan mereka dengan baik untuk menghilangkan perasaan bersalah. Bantuan yang berarti yang dapat diberikan seorang pelayan adalah berbagi rasa sebelum meninggalkan warga jemaat yang berduka dan membiarkan mereka mencoba mengatasi kedukaan mereka. Sepertinya saat seseorang sedang sangat berduka, pelayan tidak perlu memberikan banyak penjelasan, cukup pengertian dan penerimaan akan perasaan keluarga yang sedang berduka. Pelayan adalah transformator yang baik, bukan sebagai seorang “problem solver”. Sebab pelayan bukanlah pahlawan bagi yang berduka, tetapi bagaimana membuat seorang menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Seperti halnya Tuhan Yesus, Dia adalah transformator yang baik, karena memahami bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang berhikmat, dimana sebenarnya mempunyai kemampuan untuk bisa mengatasi masalahnya sendiri. Yesus hanya merangsang supaya manusia kembali menemukan jati dirinya untuk mengatasi masalah yang dihadapainya sendiri, sebab Roh Kudus pasti mendampingi kepada manusia dalam setiap perkara yang dihadapinya. 

Sebagai seorang pelayan, hendaknya menggunakan pendekatan seperti yang diajarkan Tuhan Yesus, sebuah konsep kasih yang tertulis dalam Matius 22: 39 “......Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Sebuah konsep kehidupan manusia Kristen yang adalah kasih. Sebelum mengasihi orang lain, dia harus mengasihi dirinya sendiri dan cara dia mengasihi diri sendiri itulah yang dipakai sebagai keteladanan untuk mengasihi sesamanya. Demikian juga sebagai seorang pelayan pastoral, sebelum mentransformasi seorang yang berduka, maka dia harus mampu mentranformasi diri sendiri terlebih dahulu. Sebelum membuat kelekatan yang berduka dengan Allah, seorang pelayan harus terlebih dahulu memiliki kelekatan dengan Allah terlebih dahulu. 

Akan terasa indah pada akhirnya, jikalau sebuah permasalahan besar yang dihadapai oleh warga jemaat justru bisa dikelola untuk menjadi sesuatu atau “menu” yang enak untuk dinikmati. 

 pdt yohanes didik