Berbicara mengenai Jawa
atau orang Jawa bukan masalah geografis, pulau atau sering disebut dengan tanah
Jawa. Jawa bukan soal sosio-linguistik, karena orang-orang atau keluarga yang
menamakan dirinya modern, tidak pernah atau jarang sekali menggunakan bahasa Jawa
pun tetap mengakui mereka orang Jawa atau keluarga Jawa. Jawa bukan semata-mata
budaya dengan seni-seninya, yang diakui berpusat di kraton, karena mereka yang
tinggal jauh dari kota sekalipun, mengaku sebagai orang Jawa. Sedangkan yang
dimaksud Jawa di dalam kehidupan orang Jawa ialah sosio-religius, yaitu
kehidupan orang Jawa yang terkait dengan keyakinan dan pandangan-pandangan
hidup mereka. Keunikan kehidupan orang Jawa condong untuk bertahan pada sistem
kerohaniannya yang tidak akan pernah tahu akan berakhir. Hidup orang Jawa yang
dilatar belakangi kebatinan dan dipengaruhi oleh agama dengan dogma yang
bermacam-macam, menjadikan konsepnya tentang Tuhan kabur dan tidak menentu.
KOSMOLOGI
JAWA
Masyarakat Jawa atau
orang Jawa tidak akan lepas dari kepercayaan lokal atau kosmologi yang beredar
di kalangan orang Jawa. Kosmologi-kosmologi yang secara jelas mempengaruhi
bahkan menguasai sebagian besar kebudayaan Jawa, pola pikir masyarakatnya dan
cara mereka bertindak. Bicara soal kosmologi dan kepercayaan orang Jawa, maka
tidak akan lepas dari yang namanya tradisi ruwatan dan slametan. Misalnya
kosmologi seputar perairan baik mulai dari bentuk sungai, danau atau yang lebih
dikenal Kedhung hingga kosmologi mengenai lautan. Kita tahu kalau sebagian pola
kehidupan orang Jawa dihabiskan di daerah pesisir, entah di pesisir selatan
maupun utara pulau Jawa. Masing-masing wilayah ini memiliki pengetahuan lokal
tersendiri yang mengajarkan bagaimana masyarakatnya memperlakukan laut,
masyarakat pesisir selatan melihat laut sebagai suatu wilayah yang gaib, sakral
dan harus dihormati bahkan ditakuti. Berbeda dengan pemahaman orang Jawa di
bagian pesisir utara yang melihat laut sebagai wilayah yang menyenangkan,
tempat mencari penghidupan dan bermain anak-anak. Kehidupan masyarakat Jawa
sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaan Jawa yang akulturatif dan
agamanya yang sinkretik. Kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan
struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur tersebut adalah
Abangan, Santri dan Priyayi.
MITOLOGI
MANUSIA JAWA
Masyarakat Jawa
memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka sangat
memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi
kejadian-kejadian lain. Sebenarnya hal itu bermula dari ilmu “titen”, yaitu
ilmu mendeteksi suatu kejadian yang konstan, terjadi terus-menerus dan
berkaitan dengan kejadian lain yang juga konstan berlangsung dalam kondisi yang
sama atau serupa. Selain itu masyarakat
pintar menyimbolkan segala sesuatu, mengkait-kaitkan kejadian satu dengan
kejadian yang lain, pintar membuat cerita-cerita yang akhirnya hingga saat ini
banyak mitos yang berkembang di tanah Jawa.
Ada beberapa Mitos Jawa
yang sampai saat ini masih dipercaya pada sebagian masyarakat dengan berbagai
kejadian-kejadian alam sekitar yang berusaha untuk mengingatkan mahluk hidup
yang tinggal didalamnya, terutama bila kejadian itu berulang-ulang. Kondisi
tersebut tidak bisa dihindari dan diabaikan begitu saja karena sudah banyak
kejadian yang ternyata memang berdampak besar dalam kehidupannya. Beberapa
orang percaya bahwa mitos ini hanyalah sesuatu yang dianggap berhubungan dengan
magis dan musyrik, dimana ada beberapa mitos yang berkembang di kehidupan yang
bersifat positif.
RASA
Rasa berfungsi sebagai
sarana komunikasi antara diri manusia dengan segala kenyataan yang ada diluar.
Komunikasi manusia dengan dunia luar bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi
juga dengan keadaan, dengan makhluk lain, dengan alam dan lingkungan dimana manusia
hidup dan sebagainya. Komunikasi manusia dengan dunia luar berlangsung melalui
‘sinyal-sinyal’ (energi) yang kemudian dalam diri manusia diterima oleh
instrumen yang disebut ‘rasa’. Rasa merupakan suatu kekuatan atau dorongan yang
‘menggelisahkan’ atau ‘mengusik’ diri manusia untuk bersemangat atau berani
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kalau sesuatu yang timbul
tadi tidak ditindaklanjuti maka manusia akan terus gelisah. Rasa pada dasarnya
menjadi ‘komandan’ yang mengeluarkan perintah untuk dilaksanakan. Hanya saja
perintah tadi belum jelas menyatakan apa yang harus dilakukan. Bunyi perintah
hanyalah: lakukan (atau jangan lakukan) sesuatu setelah menerima ‘sinyal’ dari
luar.
Ada sebuah pepatah Jawa
yang mengatakan "wong Jawa nggone rasa". Artinya, hidup orang Jawa
berselimut rasa. Dalam pengertian bebas saya, pepatah ini mengandung maksud
bahwa setiap laku dan perilaku dalam kehidupan orang Jawa tidak lepas dari
perhitungan akan rasa dalam diri. Orang yang ingin menjadi Jawa, perlu
menyelami rasa. Orang yang telah Jawa, berarti segala sikap dan perilakunya
rasa yang bermain. Rasa merupakan kulit daging. Maka ada istilah raos Jawi
(rasa Jawa), yakni, suatu kesadaran hidup yang dilandasi oleh ke-Jawa-an.
TENTANG
SLAMETAN
Slametan kadang disebut
juga dengan “kenduren” atau kita mengenalnya dengan kendurian, adalah sebuah
upacara keagamaan paling umum dalam adat Jawa. Slametan melambangkan kesatuan
mistis dan sosial bagi mereka individu Jawa yang ikut serta di dalamnya.
Slametan adalah semacam proses untuk menyeimbangkan kosmis di lingkungan
sekitar warga yang mengadakan slametan, slametan merupakan wadah kerjasama
antar-warga yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman
perseorangan. Tradisi slametan sendiri terbagi atas dua fungsi dan tujuan yang
hendak dicapai dengan diadakan slametan itu sendiri.
1. Slametan
desa atau bersih desa. Melakukan upacara slametan desa dengan tujuan meruwat
atau menyucikan hubungan antara manusia dengan ruang/lokasi. Slametan desa ini
dilakukan dengan cara memberi persembahan/aturi sesaji berupa makanan atau
hidangan beserta lauk-pauknya dan hasil bumi kepada Danyang desa (roh penjaga)
di tempat yang diketahui warga sebagai tempat bersemayamnya.
2. Slametan
selingan yang hanya diadakan pada saat terjadi peristiwa khusus yang tidak
berulang tiap tahunnya. Slametan ini juga merupakan bentuk upacara pribadi,
dengan tujuan supaya terlepas dari bahaya maut, sembuh dari penyakit berat,
lulus ujian, naik pangkat, menempati rumah baru dan tentu sekian banyak
kepentingan yang mewajibkan seseorang melakukan upacara yang disebut slametan.
AKAR
KEPERCAYAAN JAWA
Sebelum orang Jawa
mengenal dan kedatangan orang Hindu dan Islam, telah memiliki faham animisme
yang mengangap semua benda Roh, yaitu kekuatan gaib yang tidak tampak tetapi
kekuatan dan dayanya nyata, dan tidak seorangpun kuasa melawannya. Sarana
penyembahan yang dipakai bisa berupa pohon, batu, gunung sungai laut sampai
benda-benda milik orang yang dianggap suci.
Faham Jawa berikutnya,
disebut dengan istilah dinamisme, yang memiliki pengertian bahwa setiap benda
memiliki daya, contohnya, penjalin pethuk, kul buntet dan orang-orang yang
dianggap aneh sifatnya yang dikumpulkan dalam tempat tertentu sebagai penambah
daya gaib. Demikian juga roh-roh para leluhur yang sudah berada di alam baka,
dianggap sebagai cikal bakal penjaga kampung atau desa.
FASE
MITOS
Fase ini disebut juga
masa pra hindu budha, ciri yang menonjol dari masyarakat saat itu adalah
didasarkan pada aturan hukum adat serta sistem religinya, animisme dan
dinamisme yang merupakan inti kebudayaan. Hukum adat sebagai norma yang
mengikat kehidupan masyarakat begitu kuat dengan sifat statis dan
konservatifnya.
Ciri lainnya adalah
kuatnya ikatan solidaritas sosial dan
hubungan pertalian darah. Pendewaan dan pemitosan terhadap Roh nenek moyang
melahirkan penyembahan terhadap roh yang pada akhirnya menjadi hukum adat dan
menganggap roh nenek moyang sebagai pelindung keluarga yang masih
hidup.Keberadaan roh atau kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong tetapi juga sebaliknya dapat
mencelakakan. Sehingga ibadah bagi mereka tidak hanya mencari kepuasan batiniah
saja, tetapi juga sebagai kewajiban sosial.
FASE
IDEOLOGI
Salah satu yang patu
dicatat pada fase ini adalah pengaruh budaya India yang sangat kuat. Masyarakat
Jawa mulai menyerap unsur Hinduisme-Budhisme yang akhirnya berpengaruh terhadap
sistem agama. Fase ini disebut juga masa Hindu-Budha. Terjadi trasformasi
budaya melalui gerakan menerjemahkan kita Mahabarata dan Ramayana ke dalam
bahasa Sansekerta.
Pada fase ini budaya Jawa
bersifat terbuka yang disebut sinkretis (serba memuat). Pada masa ini agama
sudah menganut faham teokratis, pengultusan terhadap raja-raja sebagai titisan
dewa sebagai salah satu buktinya. Agama diintegrasikan kedalam kepentingan kerajaan. Sehingga kebudayaan
berkisar pada Raja tahta dan keraton. Raja dan Kehidupan keraton adalah puncak
peradapan pada masa itu.
FASE
ILMU
Pada masa ini lebih
cenderung ditekankan pada perkembangan budaya dan adat yang lebih maju dari
sebelumnya, karena masyarakat Jawa sudah memiliki kepercayaan tidak lagi
berkiblat pada pengaruh budaya hindu budha saja tetapi lebih realistis dan
banyak yang sudah memakai pola pikir untuk memilih kepercayaan atau agama yang
didasarkan pada ilmu dan idelalismenya. Pada masa ini, masyaarakat Jawa sudah
mengenal dua agama besar yang masuk wilayah Jawa yaitu, islam dan kristen.
Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-14 M. Berasal
dari Gujarat, India, Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian
berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan
Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15
M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.
Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di
pulau Flores dan Timor. Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh
bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran.
Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain,
merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara,
Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai
Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga
menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak,
dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
TINJAUAN
KRITIS
Konteks
Religio-historis masyarakat Jawa sangat dipengaruhi unsur budaya yang kental
dengan nuansa tradisi lokal. Unsur tradisi ini tidak hanya dilihat dari cara
beribadatnya, tetapi juga sarana yang dipergunakannya. Namun pengaruh budaya,
relasinya dengan tradisi terhadap perkembangan kepercayaan di Jawa, ternyata
juga dipengaruhi perkembangan pola pikir manusia yang lebih dikenal dengan
sebutan peradapan. Seperti yang telah dijabarkan diatas, dimana masyarakat Jawa
diawali menganut animisne dengan tingkah laku yang tergolong primitif dan minim
peradapan, sampai dengan pola peradapan tinggi namun tidak meninggalkan budaya
lokal. Sehingga ketika menganut agama Kristen atau Islam yang bersumber pada
ide atau ilmu, namun tidak meninggalkan akar budaya atau tradisi.
REFLEKSI
TEOLOGIS
Cerita dalam alkitab
nampaknya pengaruh budaya dan peradapan sangat beriringan sebagai contoh:
1. Bagaimana Allah mengajar umat manusia
dengan simbol budaya tradisi (2 loh batu/dasa titah),
2. Bagaimana Allah mengajar umat manusia
melalui proses pengajaran yang dilakukan oleh para nabi.
3. Bagaiman Allah ketika melihat manusia
sudah mulai kenal peradaban yang tidak percaya lagi dengan simbol dan tardisi,
lalu hadirlah sosok Yesus.
4. Keberadaaan Roh Kudus yang senantiasa
membimbing manusia, dengan pemahaman bahwa manusia sudah memiliki pengetahuan
tingkat tinggi bahwa mereka tanpa melihat sudah percaya.
Perkembangan
kepercayaan manusia terhadap Tuhannya, terus menerus menuju kesempurnaan. Itu
sebenarnya terjadi karena kekuatan Roh Kudus yang ingin seluruh ciptaan Tuhan
itu sempurna pada akhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar