Minggu, 26 Mei 2019

RELIGIO-HISTORIS MASYARAKAT JAWA


Berbicara mengenai Jawa atau orang Jawa bukan masalah geografis, pulau atau sering disebut dengan tanah Jawa. Jawa bukan soal sosio-linguistik, karena orang-orang atau keluarga yang menamakan dirinya modern, tidak pernah atau jarang sekali menggunakan bahasa Jawa pun tetap mengakui mereka orang Jawa atau keluarga Jawa. Jawa bukan semata-mata budaya dengan seni-seninya, yang diakui berpusat di kraton, karena mereka yang tinggal jauh dari kota sekalipun, mengaku sebagai orang Jawa. Sedangkan yang dimaksud Jawa di dalam kehidupan orang Jawa ialah sosio-religius, yaitu kehidupan orang Jawa yang terkait dengan keyakinan dan pandangan-pandangan hidup mereka. Keunikan kehidupan orang Jawa condong untuk bertahan pada sistem kerohaniannya yang tidak akan pernah tahu akan berakhir. Hidup orang Jawa yang dilatar belakangi kebatinan dan dipengaruhi oleh agama dengan dogma yang bermacam-macam, menjadikan konsepnya tentang Tuhan kabur dan tidak menentu.

KOSMOLOGI JAWA
Masyarakat Jawa atau orang Jawa tidak akan lepas dari kepercayaan lokal atau kosmologi yang beredar di kalangan orang Jawa. Kosmologi-kosmologi yang secara jelas mempengaruhi bahkan menguasai sebagian besar kebudayaan Jawa, pola pikir masyarakatnya dan cara mereka bertindak. Bicara soal kosmologi dan kepercayaan orang Jawa, maka tidak akan lepas dari yang namanya tradisi ruwatan dan slametan. Misalnya kosmologi seputar perairan baik mulai dari bentuk sungai, danau atau yang lebih dikenal Kedhung hingga kosmologi mengenai lautan. Kita tahu kalau sebagian pola kehidupan orang Jawa dihabiskan di daerah pesisir, entah di pesisir selatan maupun utara pulau Jawa. Masing-masing wilayah ini memiliki pengetahuan lokal tersendiri yang mengajarkan bagaimana masyarakatnya memperlakukan laut, masyarakat pesisir selatan melihat laut sebagai suatu wilayah yang gaib, sakral dan harus dihormati bahkan ditakuti. Berbeda dengan pemahaman orang Jawa di bagian pesisir utara yang melihat laut sebagai wilayah yang menyenangkan, tempat mencari penghidupan dan bermain anak-anak. Kehidupan masyarakat Jawa sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaan Jawa yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik. Kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur tersebut adalah Abangan, Santri dan Priyayi.

MITOLOGI MANUSIA JAWA
Masyarakat Jawa memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Sebenarnya hal itu bermula dari ilmu “titen”, yaitu ilmu mendeteksi suatu kejadian yang konstan, terjadi terus-menerus dan berkaitan dengan kejadian lain yang juga konstan berlangsung dalam kondisi yang sama atau serupa.  Selain itu masyarakat pintar menyimbolkan segala sesuatu, mengkait-kaitkan kejadian satu dengan kejadian yang lain, pintar membuat cerita-cerita yang akhirnya hingga saat ini banyak mitos yang berkembang di tanah Jawa.
Ada beberapa Mitos Jawa yang sampai saat ini masih dipercaya pada sebagian masyarakat dengan berbagai kejadian-kejadian alam sekitar yang berusaha untuk mengingatkan mahluk hidup yang tinggal didalamnya, terutama bila kejadian itu berulang-ulang. Kondisi tersebut tidak bisa dihindari dan diabaikan begitu saja karena sudah banyak kejadian yang ternyata memang berdampak besar dalam kehidupannya. Beberapa orang percaya bahwa mitos ini hanyalah sesuatu yang dianggap berhubungan dengan magis dan musyrik, dimana ada beberapa mitos yang berkembang di kehidupan yang bersifat positif.
                  
RASA
Rasa berfungsi sebagai sarana komunikasi antara diri manusia dengan segala kenyataan yang ada diluar. Komunikasi manusia dengan dunia luar bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan keadaan, dengan makhluk lain, dengan alam dan lingkungan dimana manusia hidup dan sebagainya. Komunikasi manusia dengan dunia luar berlangsung melalui ‘sinyal-sinyal’ (energi) yang kemudian dalam diri manusia diterima oleh instrumen yang disebut ‘rasa’. Rasa merupakan suatu kekuatan atau dorongan yang ‘menggelisahkan’ atau ‘mengusik’ diri manusia untuk bersemangat atau berani untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kalau sesuatu yang timbul tadi tidak ditindaklanjuti maka manusia akan terus gelisah. Rasa pada dasarnya menjadi ‘komandan’ yang mengeluarkan perintah untuk dilaksanakan. Hanya saja perintah tadi belum jelas menyatakan apa yang harus dilakukan. Bunyi perintah hanyalah: lakukan (atau jangan lakukan) sesuatu setelah menerima ‘sinyal’ dari luar.
Ada sebuah pepatah Jawa yang mengatakan "wong Jawa nggone rasa". Artinya, hidup orang Jawa berselimut rasa. Dalam pengertian bebas saya, pepatah ini mengandung maksud bahwa setiap laku dan perilaku dalam kehidupan orang Jawa tidak lepas dari perhitungan akan rasa dalam diri. Orang yang ingin menjadi Jawa, perlu menyelami rasa. Orang yang telah Jawa, berarti segala sikap dan perilakunya rasa yang bermain. Rasa merupakan kulit daging. Maka ada istilah raos Jawi (rasa Jawa), yakni, suatu kesadaran hidup yang dilandasi oleh ke-Jawa-an.

TENTANG SLAMETAN
Slametan kadang disebut juga dengan “kenduren” atau kita mengenalnya dengan kendurian, adalah sebuah upacara keagamaan paling umum dalam adat Jawa. Slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial bagi mereka individu Jawa yang ikut serta di dalamnya. Slametan adalah semacam proses untuk menyeimbangkan kosmis di lingkungan sekitar warga yang mengadakan slametan, slametan merupakan wadah kerjasama antar-warga yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan. Tradisi slametan sendiri terbagi atas dua fungsi dan tujuan yang hendak dicapai dengan diadakan slametan itu sendiri.
1.      Slametan desa atau bersih desa. Melakukan upacara slametan desa dengan tujuan meruwat atau menyucikan hubungan antara manusia dengan ruang/lokasi. Slametan desa ini dilakukan dengan cara memberi persembahan/aturi sesaji berupa makanan atau hidangan beserta lauk-pauknya dan hasil bumi kepada Danyang desa (roh penjaga) di tempat yang diketahui warga sebagai tempat bersemayamnya.
2.      Slametan selingan yang hanya diadakan pada saat terjadi peristiwa khusus yang tidak berulang tiap tahunnya. Slametan ini juga merupakan bentuk upacara pribadi, dengan tujuan supaya terlepas dari bahaya maut, sembuh dari penyakit berat, lulus ujian, naik pangkat, menempati rumah baru dan tentu sekian banyak kepentingan yang mewajibkan seseorang melakukan upacara yang disebut slametan.

AKAR KEPERCAYAAN JAWA
Sebelum orang Jawa mengenal dan kedatangan orang Hindu dan Islam, telah memiliki faham animisme yang mengangap semua benda Roh, yaitu kekuatan gaib yang tidak tampak tetapi kekuatan dan dayanya nyata, dan tidak seorangpun kuasa melawannya. Sarana penyembahan yang dipakai bisa berupa pohon, batu, gunung sungai laut sampai benda-benda milik orang yang dianggap suci.
Faham Jawa berikutnya, disebut dengan istilah dinamisme, yang memiliki pengertian bahwa setiap benda memiliki daya, contohnya, penjalin pethuk, kul buntet dan orang-orang yang dianggap aneh sifatnya yang dikumpulkan dalam tempat tertentu sebagai penambah daya gaib. Demikian juga roh-roh para leluhur yang sudah berada di alam baka, dianggap sebagai cikal bakal penjaga kampung atau desa.

FASE MITOS
Fase ini disebut juga masa pra hindu budha, ciri yang menonjol dari masyarakat saat itu adalah didasarkan pada aturan hukum adat serta sistem religinya, animisme dan dinamisme yang merupakan inti kebudayaan. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan masyarakat begitu kuat dengan sifat statis dan konservatifnya.
Ciri lainnya adalah kuatnya ikatan solidaritas sosial  dan hubungan pertalian darah. Pendewaan dan pemitosan terhadap Roh nenek moyang melahirkan penyembahan terhadap roh yang pada akhirnya menjadi hukum adat dan menganggap roh nenek moyang sebagai pelindung keluarga yang masih hidup.Keberadaan roh atau kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang  dapat menolong tetapi juga sebaliknya dapat mencelakakan. Sehingga ibadah bagi mereka tidak hanya mencari kepuasan batiniah saja, tetapi juga sebagai kewajiban sosial.

FASE IDEOLOGI
Salah satu yang patu dicatat pada fase ini adalah pengaruh budaya India yang sangat kuat. Masyarakat Jawa mulai menyerap unsur Hinduisme-Budhisme yang akhirnya berpengaruh terhadap sistem agama. Fase ini disebut juga masa Hindu-Budha. Terjadi trasformasi budaya melalui gerakan menerjemahkan kita Mahabarata dan Ramayana ke dalam bahasa Sansekerta.
Pada fase ini budaya Jawa bersifat terbuka yang disebut sinkretis (serba memuat). Pada masa ini agama sudah menganut faham teokratis, pengultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa sebagai salah satu buktinya. Agama diintegrasikan kedalam  kepentingan kerajaan. Sehingga kebudayaan berkisar pada Raja tahta dan keraton. Raja dan Kehidupan keraton adalah puncak peradapan pada masa itu.

FASE ILMU
Pada masa ini lebih cenderung ditekankan pada perkembangan budaya dan adat yang lebih maju dari sebelumnya, karena masyarakat Jawa sudah memiliki kepercayaan tidak lagi berkiblat pada pengaruh budaya hindu budha saja tetapi lebih realistis dan banyak yang sudah memakai pola pikir untuk memilih kepercayaan atau agama yang didasarkan pada ilmu dan idelalismenya. Pada masa ini, masyaarakat Jawa sudah mengenal dua agama besar yang masuk wilayah Jawa yaitu, islam dan kristen.
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 M.  Berasal dari Gujarat, India, Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia. Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor. Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.

TINJAUAN KRITIS
Konteks Religio-historis masyarakat Jawa sangat dipengaruhi unsur budaya yang kental dengan nuansa tradisi lokal. Unsur tradisi ini tidak hanya dilihat dari cara beribadatnya, tetapi juga sarana yang dipergunakannya. Namun pengaruh budaya, relasinya dengan tradisi terhadap perkembangan kepercayaan di Jawa, ternyata juga dipengaruhi perkembangan pola pikir manusia yang lebih dikenal dengan sebutan peradapan. Seperti yang telah dijabarkan diatas, dimana masyarakat Jawa diawali menganut animisne dengan tingkah laku yang tergolong primitif dan minim peradapan, sampai dengan pola peradapan tinggi namun tidak meninggalkan budaya lokal. Sehingga ketika menganut agama Kristen atau Islam yang bersumber pada ide atau ilmu, namun tidak meninggalkan akar budaya atau tradisi.

REFLEKSI TEOLOGIS
Cerita dalam alkitab nampaknya pengaruh budaya dan peradapan sangat beriringan sebagai contoh:
1.        Bagaimana Allah mengajar umat manusia dengan simbol budaya tradisi (2 loh batu/dasa titah),
2.     Bagaimana Allah mengajar umat manusia melalui proses pengajaran yang dilakukan oleh para   nabi.
3.     Bagaiman Allah ketika melihat manusia sudah mulai kenal peradaban yang tidak percaya lagi  dengan simbol dan tardisi, lalu hadirlah sosok Yesus.
4.    Keberadaaan Roh Kudus yang senantiasa membimbing manusia, dengan pemahaman bahwa manusia sudah memiliki pengetahuan tingkat tinggi bahwa mereka tanpa melihat sudah percaya.
Perkembangan kepercayaan manusia terhadap Tuhannya, terus menerus menuju kesempurnaan. Itu sebenarnya terjadi karena kekuatan Roh Kudus yang ingin seluruh ciptaan Tuhan itu sempurna pada akhirnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar